Kajian Penyesuaian Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Terkait dengan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
- LATAR BELAKANG
- Dalam melaksanakan mandat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (Konstitusi) Pengelolaan sektor pertambangan mineral dan batubara diatur oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba);
- Sebagaimana pengelolaan sumber daya alam lainnya pengelolaan sektor minerba terkait dengan sektor atau kementerian lain, diantaranya seperti lingkungan hidup dan kehutanan, Kementerian agraria, dan Kementerian Dalam Negeri.
- Dalam melaksanakan ketentuan UU Minerba, Kementerian ESDM menyusun peraturan pelaksanaan dari UU Minerba dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.
- Dalam rangka mendorong investasi dibidang pertambangan maka diperlukan peraturan perundang-undangan yang tidak saling tumpang tindih sehingga tercipta kepastian hukum.
- Saat ini perubahan UU Minerba telah masuk kedalam Program Legislasi Nasional Tahun 2015 atas inisiatif DPR.
- Untuk itu diharapkan permasalahan-permasalahan yang timbul di sektor minerba yang diantaranya terjadi karena inkonsistensi pengaturan antar Kementerian terkait , dapat disesuaikan di dalam Rancangan Perubahan UU Minerba.
- Kajian ini dilakukan dalam rangka mengidentifikasi, inventarisasi dan rekomendasi hasil kajian penyesuaian peraturan Menteri ESDM terkait pelaksanaan UU Minerba.
- Telah kami kirimkan sebelumnya matriks yang telah kami kirimkan pada B07 tentang Daftar Rancangan Peraturan Menteri ESDM yang berisi potensi masalah dengan Kementerian terkait.
- HASIL IDENTIFIKASI
- Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan
- Pada Rancangan Peraturan Menteri ESDM tentang Tata Cara Pemasangan Tanda Batas WIUP dan WIUPK diidentifikasi akan terjadi permasalahan terkait dengan masih banyaknya batas wilayah antar Kabupaten, Kota dan Provinsi yang belum definitif oleh Kementerian Dalam Negeri.
- WIUP dan WIUPK minerba tidak dapat diberikan jika batas wilayah belum definitif.
- Sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah, maka batas daerah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
- Setelah reformasi tahun 1998 terjadi banyak daerah pemekaran baru baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Pemekaran daerah ini tentunya merubah batas wilayah daerah.
- Di dalam daerah pemekaran tersebut terdapat IUP pertambangan yang telah diterbitkan (eksisting) berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang telah dicabut oleh UU Minerba.
- Konsep UU Minerba dalam memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) adalah diusulkan secara Bottom up dari tingkat Kabupaten ke tingkat nasional (sesuai keputusan MK).
- Perizinan (IUP) diberikan berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Saat ini sesuai dengan Undang-Undang 23 Tahun 2014 Pemerintah Kabupaten tidak lagi memiliki kewenangan menerbitkan IUP.
- Saat ini banyak batas wilayah provinsi maupun kabupaten/kota yang belum ditetapkan batas wilayah administrasinya oleh Menteri Dalam Negeri.
- Tumpang tindih dengan Sektor Kehutanan
- Dari hasil identifikasi terdapat temuan dalam Rancangan Peraturan Menteri ESDM tentang Tata Cara Deliniasi Zonasi WIUP dan WIUPK Operasi Produksi untuk Kawasan Lindung dan Rancangan Peraturan Menteri ESDM tentang Perubahan Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penetapan WUP dan Sistem Informasi Wilayah, maka terdapat hambatan, selain harus memiliki batas wilayah administrasi yang sudah definitif penetapan WIUP dan WIUPK yang berkerja diwilayah hutan juga harus memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan.
- Dalam hal pemberian IUP Operasi Produksi di dalam Rancangan Peraturan Menteri ESDM tentang Pemberian Izin Mineral Logam dan Batubara, konsep UU Minerba adalah izin diberikan secara clear. Artinya ketika IUP Operasi Produksi sudah diterbitkan maka pemegang IUP tidak harus mengurus ijin lagi yang lain seperti IPPKH. Namun berdasarkan Permenhut No. 16 Tahun 2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, salah satu syarat IPPKH adalah rekomendasi dari Direktur Jenderal Mineral dan Batubara.
- Dalam hal ini IPPKH diproses ketika IUP Operasi Produksi sudah diterbitkan atau pemegang IUP OP belum dapat bekerja dalam kawasan hutan sebelum memiliki IPPKH. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian dalam investasi.
- Kebijakan Pengolahan dan Pemurnian. Aturan terkait dengan kebijakan untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri diatur dalam Pasal 170 UU Minerba yang berbunyi “Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”, kemudian aturan pelaksanaanya diatur dalam Pasal 112C angka 2 PP No. 1 Tahun 2014 yang berbunyi “Pemegang KK yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pemurnian, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu” dan Pasal 12 ayat (1) Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 yang berbunyi “Pemegang KK Mineral Logam sebagaimana dimaksud Ps. 112C angka 2 PP No. 1 Th. 2014 dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu hasil pengolahan termasuk hasil pemurnian setelah memenuhi batasan pengolahan dan pemurnian....” Sementara dalam aturan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 12 ayat (5) mengatur bahwa “Penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu hasil pengolahan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 tahun sejak diundangkannya Peraturan Menteri ini”. Ketentuan Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 yang memberikan “perpanjangan” jangka waktu kegiatan penjualan ke luar negeri mineral bagi pemegang KK dinilai tidak senafas dengan ketentuan Pasal 170 UU Nomor 4 Tahun 2009
- Pengalihan IUP/IUPK. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 93 mengatur bahwa Pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain. Untuk pengalihan kepemilikan dan/atau saham di bursa saham Indonesia hanya dapat dilakukan setelah melakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu. Aturan ini tidak sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 Pasal 7A dan Pasal 7B yang berbunyi:
- Pasal 7A (1) Pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain (2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi badan usaha yang 51% (lima puluh satu persen) atau lebih sahamnya tidak dimiliki oleh pemegang IUP atau IUPK Pasal
- 7B (1) IUP atau IUPK yang dimiliki oleh BUMN sebagian WIUP atau WIUPK Operasi Produksinya dapat dialihkan kepada pihak lain (2) Pihak lain sebgaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi badan usaha yang 51% atau lebih sahamnya dimiliki oleh BUMN pemegang IUP atau IUPK
- Pasal 7A dan Pasal 7B Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 dianggap tidak senafas dengan Pasal 93 UU No. 4 Tahun 2009, karena PP 24 Tahun 2012 membuka kemungkinan dilakukannya pengalihan IUP serta ketentuan Pasal 93 ayat (2) tidak mengatur secara jelas tentang makna “kepemilikan dan/atau saham di bursa saham Indonesia”
- Pengusahaan Komoditas Tambang Lain dalam WIUP/WIUPK. Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, mengatur ketentuan bahwa pemegang IUP yang menemukan mineral lain di dalam WIUP yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya. Apabila pemegang IUP tersebut bermaksud untuk mengusahakan mineral lain tersebut, wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada Menteri atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya. Pengaturan terkait pengusahaan komoditas tambang lain ini berbeda dengan ketentuan Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010, yang mengatur Dalam hal pada lokasi WIUP ditemukan komoditas tambang lainya yang bukan asosiasi mineral yang diberikan dalam IUP, pemegang IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi memperoleh keutamaan dalam mengusahakan komoditas tambang lainnya yang ditemukan. Dalam mengusahakan komoditas tambang lainnya tersebut harus membentuk badan usaha baru. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, jika pemegang IUP menemukan mineral lain dalam WIUP nya dan berminat mengusahakannya, maka pemegang IUP tersebutlah yang mengajukan permohonan IUP baru, sedangkan dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 pengusahaan dilakukan dengan membentuk badan usaha baru.
- Usaha Jasa Pertambangan. Pengaturan mengenai Usaha Jasa Pertambangan diatur dalam Pasal 124 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yang mengatur bahwa jenis usaha jasa pertambangan yang dapat diusahakan oleh perusahaan jasa pertambangan, tidak termasuk didalamnya pelaksanaan kegiatan penambangan sehingga kegiatan penambangan dilakukan sendiri oleh pemegang IUP. Sementara dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 10 yang berbunyi :
- Pasal 10 (1) Pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi wajib melaksanakan sendiri kegiatan penambangan, pengolahan dan pemurnian (2) Pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi dapat menyerahkan kegiatan penambangan kepada usaha jasa pertambangan terbata pada kegiatan: a) Pengupasan lapisan (stripping) batuan penutup; dan b) Pengangkutan mineral dan batubara
- Permen ESDM No. 28 Tahun 2009 mengatur norma baru yang memungkinkan pemegang IUP/IUPK Operasi Produksi menyerahkan kegiatan penambangan kepada usaha jasa pertambangan, sementara hal tersebut tidak diperbolehkan dalam ketentuan Pasal 124 UU No. 4 Tahun 2009.
- Rekomendasi
- Kepastian hukum adalah salah satu indikator dalam investasi. Khusus sektor pertambangan yang membutuhkan investasi tinggi dan waktu usaha yang cukup lama, kepastian hukum menjadi penting.
- Sektor minerba masih merupakan sektor andalan dalam penerimaan Negara dan penyediaan pembangunan infrastruktur dasar, sehingga kepastian berusaha menjadi penting.
- Sektor minerba dapat berkembang jika didukung oleh Kementerian terkait lain dalam hal ini antara lain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria, dan Kementerian Dalam Negeri.
- Permasalahan sektor minerba sejak berlakunya UU Minerba dan Otonomi daerah diantaranya tumpang tindih izin dan penyiapan wilayah usaha pertambangan.
- Melakukan sinkronisasi dan harmonisasi pasal-pasal yang bertentangan antara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dengan peraturan pelaksananya. 6. Melakukan revisi atau perubahan terhadap peraturan yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.