Sedihnya Menjadi Perokok Pasif
ÂÂ
Kompas, 6 Juni 2004. BENDA kecil berbahan utama tembakau ini menyenangkan bagi sebagian orang, tetapi menyebalkan bagi sebagian lainnya. Benda yang disebut rokok itu bisa membuat orang yang mengisapnya merasa tenang dan percaya diri-begitulah pengakuan sebagian perokok-namun sebaliknya bagi mereka yang terpaksa mengisap asapnya, meskipun bukan perokok.
Kelompok terakhir itu disebut sebagai perokok pasif. Artinya, mereka tidak merokok tetapi harus turut merasakan akibat buruk dari rokok yang dibakar. Para perokok pasif ini bisa dikatakan tak punya pilihan, selain harus turut "menelan" asap rokok yang dinikmati para perokok.
Mimi (40-an) seorang karyawan swasta di bilangan Jakarta Pusat mengatakan, dia berhasil mengusahakan agar rumahnya bebas dari rokok, namun di kantor ia merasa tak berdaya karena sebagian teman kerjanya yang merokok malah marah bila ditegur.
Apalagi bagi Anda yang kerap menggunakan jasa angkutan umum, asap rokok nyaris tak terhindarkan karena justru orang yang mengeluh pada asap rokok dianggap "aneh". Sebagian penumpang maupun pengemudinya dengan tenang akan merokok, betapa pun mata Anda sudah melotot, bahkan memberi teguran lisan sekalipun. Mereka akan tetap merokok.
Padahal, menurut Tjandra Yoga Aditama, dokter spesialis paru yang juga Ketua III Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), asap rokok yang terpaksa diisap perokok pasif kandungan bahan kimianya lebih tinggi dibandingkan dengan asap rokok utama. Hal ini disebabkan tembakau terbakar pada temperatur lebih rendah ketika rokok sedang diisap. Ini membuat pembakaran menjadi kurang lengkap dan mengeluarkan banyak bahan kimia.
"Asap rokok mengandung sekitar 4.000 bahan kimia, 43 di antaranya jelas-jelas bersifat karsinogen. Pengaruh asap rokok pada perokok pasif itu tiga kali lebih buruk daripada debu batu bara," kata Tjandra Yoga Aditama seperti ditulisnya pada buletin Rokok & Masalahnya.
WHO, badan kesehatan PBB, katanya, bahkan memperkirakan hampir sekitar 700 juta anak atau sekitar setengah dari seluruh anak di dunia ini terpaksa mengisap udara yang terpolusi asap rokok. Ironisnya, hal itu justru terjadi lebih banyak di dalam rumah mereka sendiri.
Di Indonesia, perokok relatif bebas mengisap rokok di mana saja. Kawasan bebas rokok di negeri ini masih amat minim, itu pun sangat mungkin dilanggar karena sanksinya bisa dikatakan tidak ada. Padahal, kalau seseorang merokok, itu berarti dia hanya mengisap asap rokoknya sekitar 15 persen saja, sementara yang 85 persen lainnya dilepaskannya untuk diisap para perokok pasif.
"Ada beberapa penyakit yang bisa timbul ’hanya’ karena mereka menjadi perokok pasif. Misalnya infeksi paru dan telinga, gangguan pertumbuhan paru, atau bahkan dapat menyebabkan kanker paru," ujar Tjandra yang juga Direktur Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta.
SEBAGIAN perokok tak bisa memahami-apalagi diharapkan untuk bertoleransi-pada ketidaknyamanan perokok pasif yang terpaksa mengisap asap rokok. Perokok pasif harus mencium bau bakaran tembakau sampai merasa sesak napas. Bahkan, pada sebagian perokok pasif yang sensitif akan langsung terbatuk-batuk saat itu juga.
Menurut Tjandra Yoga Aditama, penelitian yang pernah dilakukan di Amerika Serikat (AS) menunjukkan kematian akibat asap rokok pada perokok pasif lebih tinggi dibandingkan dengan kematian sebab polusi udara lainnya. Risiko terjadinya kanker paru di kalangan perokok pasif yang tinggal serumah atau sekantor dengan perokok lebih tinggi daripada mereka yang tinggal bersama non-perokok.
"Kemungkinan terjadinya kanker paru pada perempuan yang suaminya perokok sekitar 20 sampai 30 persen lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang pasangannya tidak merokok," dia menambahkan.
Di China bahkan disebutkan bahwa penyakit jantung koroner pada perempuan yang suaminya perokok sekitar 24 persen lebih tinggi dibandingkan dengan yang suaminya tidak merokok. Angka ini meningkat sampai 85 persen bila perempuan itu juga menjadi perokok pasif di tempat kerjanya.
Wawan (44, bukan nama sebenarnya), perokok sejak masih duduk di bangku SMA, mengaku sangat mengerti bahaya merokok bagi istri dan anaknya. Dia pun mengaku sudah berusaha keras untuk menghentikan kebiasaan buruknya itu, namun setiap kali mencoba sesering itu pula dia merasa gagal (baca pula: Berhenti Merokok dengan Kekuatan Otak, halaman 34).
"Setiap kali istri saya melotot, saya merasa tidak enak. Saya berada di posisi yang serba tidak menyenangkan. Saya tahu keberatan mereka karena memang saya salah. Namun, saya tidak bisa melepaskan diri dari rokok. Jadi, sebenarnya saya merasa dipojokkan dari dua sisi, rasa bersalah diri sendiri dan kemarahan istri saya," kata Wawan berusaha mengungkapkan apa yang dirasakannya sebagai perokok.
Dina (34, bukan nama sebenarnya), karyawan di sebuah perusahaan minyak di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, yang merokok sejak SMA, malah merasa bersalah dan telah menipu ketiga anaknya sendiri. Dia tak pernah merokok di depan anak-anaknya hingga mereka tak tahu bahwa ibu kandungnya adalah perokok.
"Pernah anak perempuan saya melihat adegan perempuan merokok di sinetron. Dia bilang, ih kok perempuan merokok sih, itu kan tidak baik, tidak sehat. Langsung saya bilang, makanya kamu jangan merokok. Memang jelek kalau perempuan itu merokok," tutur Dina yang biasa menghabiskan satu bungkus rokok untuk dua hari itu.
KETERTARIKAN awal orang untuk merokok umumnya muncul saat usia remaja, 15-19 tahun atau sewaktu duduk di bangku SMA. Sebagian perokok tahu bahwa merokok tidak baik untuk kesehatan dan lingkungannya, namun mereka memerlukan rokok dengan berbagai alasan, dari soal diterima oleh lingkungan pergaulannya sampai merasa tidak "gagah dan modern" tanpa rokok.
Dina bahkan merokok karena sahabatnya adalah perokok. Setiap kali dia melihat sahabatnya merokok, maka dia pun ingin mencobanya. "Kayaknya asyik sekali melihat dia merokok dan mengisapnya dalam-dalam. Semula saya mencoba menasihati dia supaya berhenti merokok. Eh enggak tahunya malah saya yang tergoda untuk merokok," ceritanya.
Dia tahu merokok tidak baik, oleh karena itulah Dina tidak merokok di depan orangtuanya. Dia hanya merokok di kamar, dan segera membuka jendela dan menghalau bau asap rokok agar tak diketahui orang lain di rumahnya.
"Waktu saya kuliah, ibu saya sudah memperingatkan bahaya rokok buat perempuan, apalagi kalau hamil. Saya masih ingat betul peringatannya itu," kata Dina yang berhenti merokok setiap kali hamil dan baru mulai merokok lagi bila anaknya sudah tak lagi menyusui.
Mengapa kembali merokok setelah tak lagi menyusui bayi? Dina mengakui hal itu terutama sebab tak cukup kuat niatnya untuk berhenti.
"Kalau sedang hamil kan jelas, saya tidak ingin anak saya kenapa-kenapa karena saya merokok. Ada alasan nyata di depan mata. Jadi, ada keinginan kuat berhenti merokok demi kesehatan bayi saya. Tetapi begitu anak selesai menyusui, rasanya bau rokok itu mengundang lagi dan saya tak punya alasan kuat untuk menolaknya," ujar perempuan yang suaminya juga perokok ini.
Tjandra Yoga Aditama menambahkan, sekitar 75 persen perokok yang mencoba berhenti ternyata gagal mewujudkan keinginannya itu. "Mereka biasanya mampu berhenti merokok untuk beberapa waktu, namun toh akhirnya kembali lagi menjadi perokok," cetusnya.
Dalam buletin Rokok & Masalahnya disebutkan, perokok yang berhenti merokok selama dua jam, maka nikotin mulai meninggalkan tubuhnya. Ketika dia berhenti merokok selama enam jam, itu berarti menurunkan denyut nadi dan tekanan darah yang berangsur menuju pada keadaan ekuilibrium. Ketika orang itu berhenti merokok selama 12 jam, maka CO (karbon monoksida) mulai meninggalkan tubuhnya.
"Bila dia berhenti merokok dua hari berturut-turut, kemampuan untuk mengecap dan menghirup akan membaik. Kalau berhenti merokok dua sampai 12 minggu, sirkulasi darahnya membaik. Orang yang terus berhenti merokok tiga sampai sembilan bulan, batuk dan gangguan pernapasannya akan menghilang," kata Tjandra.
Perokok yang sudah lima tahun berhenti merokok, maka risiko terkena penyakit jantung koroner akan turun 50 persen, dan 10 tahun tidak merokok kemungkinan itu menjadi sama dengan orang yang tidak merokok. "Angka-angka itu hanya gambaran umum, karena hal ini juga amat tergantung pada lama dan banyaknya rokok yang diisap masing-masing orang," lanjutnya.
KEBANYAKAN orang merokok karena pengaruh lingkungan, entah teman atau keluarganya sendiri. Dina merokok karena sahabatnya adalah perokok, sedang Wawan mulai merokok karena hampir semua pria di lingkungan tempat tinggalnya adalah perokok.
Meski perokok, namun mereka umumnya tak ingin anak atau kerabatnya juga menjadi perokok. Seorang ayah berusia 60-an tahun yang lima tahun terakhir ini sudah berhenti merokok, merasa menyesal melihat ketiga anak lelakinya kini menjadi perokok seperti dirinya dulu. "Saya tidak bisa melarang mereka, karena mereka tahu saya dulu juga merokok," ucapnya.
Inilah mungkin yang dikatakan sebagai sesal kemudian tidak berguna. Dina pun tak ingin anak-anaknya tahu dia merokok, sebab dia tak ingin anaknya meniru perbuatan buruknya itu. Agar anak-anak tak tahu kalau ibunya perokok, dia membatasi diri hanya merokok di kamar mandi.
"Di kamar mandi saya ada wewangian untuk menetralisir bau asap rokok. Jadi, setelah merokok, wewangian itu langsung saya pasang. Saya juga langsung cuci tangan bersih-bersih, sikat gigi dan pakai obat kumur. Memang lebih repot, tetapi harus saya lakukan agar anak-anak tak tercemar rokok," kata Dina.
Sementara Wawan berusaha menjauhkan keluarganya dari asap rokok dengan tidak merokok di dalam rumah. Dia juga mengatakan kepada mereka agar tidak merokok seperti dia, karena hal itu sama sekali tidak menguntungkan. "Oleh karena saya tidak bisa berhenti merokok, ya saya bilang saja ke mereka jangan mengikuti hal buruk dari orangtuamu," ujarnya.
Tjandra Yoga Aditama menambahkan, kemungkinan menjadi perokok pada anak-anak akan lebih tinggi pada orangtua yang satu atau keduanya perokok. "Di Amerika, remaja perokok lima kali lebih banyak pada mereka yang orangtuanya perokok dibandingkan dengan orangtua yang tidak merokok."
Rokok & Masalahnya juga menyebutkan beberapa efek rokok terhadap tubuh yang jarang dipublikasikan, seperti menurunkan sistem kekebalan tubuh hingga mengakibatkan kerontokan rambut, gangguan katarak pada mata, kulit cepat keriput, kehilangan pendengaran dini, menimbulkan kerusakan gigi, lebih mudah terkena osteoporosis, mengurangi jumlah dan kelainan bentuk sperma, serta lebih berkemungkinan terkena kanker.
Merokok tak hanya membuat penikmatnya tidak sehat, tetapi juga merugikan keluarga dan kerabat sendiri. Kalau sudah begini, masihkah rokok pantas untuk dipertahankan? (ARN/CP)
 Catatan Redaksi:
Supaya tidak merugikan orang lain yang tidak merokok, perokok, apalagi dalam ruang yang ber-AC sebaiknya menghabiskan seluruh asapnya sendiri saja.
sumber: