Pasokan Batubara Sering dipertanyakan: harga batubara (2)
Harga batubara senantiasa berfluktuasi dari waktu ke-waktu dipengaruhi oleh berbagai situasi, termasuk permintaan dan kemampuan suplai, serta juga harga minyak bumi. Baru-baru ini minyak bumi harganya sangat melonjak melewati angka psikologis 100 USD/barrel, bahkan hari ini telah mencapai 102 USD/barrel. Para ahli mengatakan bahwa era energi murah telah lewat. Untuk batubara 5 tahun lalu kisarannya masih sekitar 30 USD/ ton namun kahir-akhir ini lonjakannya sangat luar biasa.
ICI dan Barlow Jonker
Menurut Indonesia Coal Index (ICI) Argus yang saat ini menjadi acuan dalam harga batubara Indonesia pada tahun 2006, untuk harga rata-rata bulanan batubara dengan nilai kalori 6500 mengalami kenaikan sebesar 12 USD selama Januari sampai Desember 2006 yaitu dari 47.95 USD/ton pada bulan Januari menjadi 60.63 USD/ton pada bulan Desember. Pada periode yang sama untuk nilai kalori 5000 mangalami kenaikan sekitar 18 USD, yaitu dari 30.34 USD/ton pada Januari dan menjadi 39.06 USD/ton pada bulan Desember.
Hal yang sama disampaikan oleh indeks harga yang dikeluarkan Barlow Jonker selama tahun 2006 dengan kenaikan sekitar 12-13 USD, yaitu dari 51.21 USD/ton pada bulan Januari menjadi 64.92 USD/ton pada bulan Desember 2007.
Kenaikan ini termasuk luar biasa, namun yang lebih luar biasa adalah kenaikan untuk nilai kalori 6500 dimana pada bulan Februari 2007 telah menjadi 130.95 USD/ton. Atau naik hampir dua kali lipat pada harga yang sudah tinggi hanya dalam waktu dua-tiga bulan. Harga yang cenderung naik tersebut bisa jadi wajar, seiring meningginya konsumsi energi negara-negara maju dan melonjaknya harga minyak.
Dampak Pada Pengguna
Tingginya harga batubara tersebut mulai memberi dampak pada pelaku industri yang menggunakan batubara. PLN contohnya,sebagai pengguna batubara terbesar PLN dapat mengalami kerugian akibat melonjaknya biaya produksi sementara sejauh ini Pemerintah tidak berniat untuk menaikkan tarif listrik. Menurut Indonesia Power (IP) anak perusahaan PLN, pembelian batubara menyumbang 25% dari total biaya operasi IP.
Para pengguna lainnya seperti industri semen sampai industri tekstil mengalami hal yang sama. Padahal pada tahun 90-an ketika industri semen ramai-ramai bergeser menggunakan batubara dari penggunaan BBM pada sistem pembakaran pabrik semen alasan utamanya adalah sisi keekonomian batubara yang jauh lebih murah, sehingga akan lebih menguntungkan industri. Lebih jauh lagi selama ini industri semen lebih senang membeli dari pasar spot daripada kontrak jangka panjang yang hanya sekitar 30% saja. Akibatnya saat terjadi kelangkaan di pasar spot tentu saja mereka langsung menjerit. mengapa industri semen menyenangi pasar spot? Salah satunya karena selama ini pasar spot banyak dibanjiri produk batubara dri KP-KP batubara (non PKP2B), bahkan disinyalir juga kemungkinan ada yang dari batubara non-legal (PETI) atau setengah legal. Batubara dari PETI dapat dijual murah karena mereka tidak membayar lewajiban pajak dan non-pajak ke pemerintah bahkan memberikan kerusakan lingkungan pada bekas-bekas tambangnya.
Pelajaran Cina
Cina memang termasuk salah satu produsen batu bara terbesar di dunia. Akan tetapi, produksinya banyak digunakan untuk konsumsi dalam negeri, terutama hampir 50% untuk pembangkit listrik, dan sisanya untuk industri semen, baja, kertas, hingga tekstil.
Cina menerapkan kebijakan penggunaan batubara domestik secara tegas. Namun merekapun menanggung risiko atas pemanfaatan pembangkit listrik berbahan baku batu bara. Pertambangan batu bara berkembang baik legal ataupun illegal. Namun sering tak diimbangi dengan jaminan keselamatan kerja bagi para penambangnya. Seringkali kita mendengar berita kecelakaan kerja di pertambangan batu bara Cina. Selain itu, kerusakan lingkungan dan ancaman kesehatan pun menjadi nyata di sekeliling areal pertambangan dan pembangkit listrik. Cina juga menjadi salah satu penyumbang emisi asam besar dunia. Untuk itu pernah dikabarkan bahwa Cina sempat ditawari teknologi terbaru PLTU yang lebih ramah lingkungan, tapi tawaran itu tak ditanggapi, karena biaya investasi yang dianggap sangat mahal. (edpraso)
sumber: