Menjulangnya Harga Batubara: Indonesia Lebih Beruntung dibandingkan Australia

 

 

Harga batubara uap meningkat laksana meteor pada akhir-akhir ini dan mengejutkan pada banyak kalangan. Harga batubara spot telah mencapai suatu tingkat tertinggi di seluruh dunia. Sebagai contoh Barlow Jonker Index (BJI) telah mencapai rekor melebihi  US$43/t dari sebelumnya dibawah US$24/t pada Mei 2003, atau meningkat 92% hanya dalam 41-minggu sampai pertengahan  Februari  2004 dimana indeks ini cenderung terus naik sampai saat ini. Pada 4 Maret 2004 BJI rekord telah mencapai  US$47.50/t dan hari ini telah melewati US$50/t.

 

Angka kenaikan ini telah mempengaruhi pada negosiasi harga batubara kontrak  pembelian batubara uap. Pada akhir Februari,  contohnya  harga JFY2004 telah mulai mengadaptasi keadaan ini. Sekalipun hal ini juga karena adanya permintaan yang tinggi serta ketatnya suplai batubara, tidak urung cepatnya kenaikan ini juga mengejutkan banyak pihak.Barlow Jonker’s coalportal.com website melaporkan bahwa C&A’s Warkworth telah mengikat kontrak 1Mt dengan Chubu pada harga US$41.75/t (basis 6,700 GAD) atau 56% lebih tinggi dari ‘benchmark’ price sekitar US$26.75/t.

 

 

 

Gambar 1 A$ dan Rupiah vs US$ rates

 

Seberapa besar dampak dari hal ini apakah akan positif atau negatif, akan dipengaruhi oleh berbagai faktor, selain juga faktor rates rupiah,Australia dollar dan US dollar. Dalam 12 bulan terakhir, dollar Australia telah meningkat 36% dibandingkan Maret 2003 sebesar US$0.59 menjadi sekitar US$0.80 pada Januari 2004. Daris sisi dollar Australia, penguatan harga batubara uap juga secara relatif dipengaruhi oleh melemahnya dollar US. Pada gambar 2 ditunjukkan tentang harga Benchmark batubara sejak tahun 1999/2000.

 

A$ dan  US$ harga‘benchmark’ batubara Uap

JFY

US$/t

A$/t

DUS$/t

DA$/t

1999

29.95

47.11

n/a

n/a

2000

28.75

47.54

-1.20

-0.43

2001

34.50

69.78

5.75

22.24

2002

31.85

58.68

-2.65

-11.10

2003

26.75

44.31

-5.10

-14.37

2004*

41.75

52.87

15.00

8.56

*Headline price based on Warkworth settlement

 

 Gambar 2. Perbandingan harga Ã¢â‚¬Ëœbenchmark’ dalam  A$ danUS$. Harga 2004 berdasarkan pada kontrak antara  Warkworth dan Chubu.

 

Hal ini tentu menguntungkan untuk Australia, bagaimana dengan posisi Indonesia? Mari kita lihat perbandingan industri kedua negara ini. Secara umum kabar mengenai menguatnya harga batubara dalam US$ tentu akan membuat banyak keuntungan bagi para produser batubara, namun di Indonesia hal ini masih menyisakan sedikit ketidakpastian dan masalah yang tidak akan ada di Australia, nilai tukar bukanlah hal yang sungguh menentukan dalam hal ini. Hal ini dapat dilihat dalam  Barlow Jonker’s Coal Supply Series studies.

 

Sejak juli 2003, Rupiah secara relatif lebih stabil terhadap US dollar  sementara dollar Australia sangat berfluktuasi dari melemahnya dollar Amerika (Gambar 1). Barlow Jonker memperkirakan bahwa rata-rata weighted cash cost (biaya tambang terbuka) adalah A$35.20/t untuk tambang Australia. Berdasarkan pada perubahan nilai tukar dollar Australia dari Agustus sampai sekarang, pergerakan dalam US dollar adalah setara dari US$22.56/t menjadi  US$27.22/t.

 

Sebaliknya,  Indonesian rata-rata weighted cash cost tetap sebesar US$22/t. Hal ini sebagian karena jarangnya Rupiah sebagai mata uang yang dipakai dalam perdagangan, namun terlebih lagi karena sebagian besar produser di Indonesia menggunakan US dollar dalam operasi tambang dan  kontrak jualnya. Memang dalam penetapan indikator harga batubara Indonesia cukup sulit karena sangat bervariasinya kualitas batubara yang ada. Namun dengan asumsi bahwa top brand batubara Indonesia adalah Prima dengan harga perkiraan US$40/t atau lebih pada kondisi supply/demand saat ini, maka margin keuntungan produser batubara Indonesia dapat mencapai sedikitnya  US$18/t atau lebih. Didasarkan pada posisi  BJI antara Agustus 2003 dan Maret 2004, US Dollar margin secara signifikan juga telah meningkat pada produser  Australia dari  US$3.04/t ke US$20.28/t sekalipun nilai tukar cukup tinggi.

 

Apakah produser Indonesia lebih baik kondisinya dari produser Indonesia?  Sebuah fakta adalah bahwa ekpor batubara Indonesia menjadi lebih kompetitif karena melemahnya  US$  sedangkan A$ relatif tetap. Inilah hal yang sebenarnya terjadi dalam 6-7 bulan terakhir ini (Gambar 1). Kedua,  sekalipun margin profit di Australia  tetap baik,  namun tingginya biaya pengapalan,  bottleneck di PWCS dan adanya klaim atas kecelakaan di DBCT serta adanya demurrage mengakibatkan berkurangnya kesempatan mendapat keuntungan yang lebih besar dari situasi saat ini. Coalfax (no.854) melaporkan bahwa rata-rata biaya demurrage di Newcastle dari Januari 2004 adalah US$1.49/t, berdasarkan stradar JSM.  Dengan 15.5-hari masa menunggu  ke 1 Maret  2004 di Newcastle, maka sebesar US$20.28/t margin akan menghilang. 

 

Keuntungan besar  Indonesia dalam pasar freight juga karena posisi geografisnya yag menguntungkan sehingga biaya pengapalan bisa lebih rendah. Sekalipun demurrage juga muncul sebagai isu dalam ekspor batubara dari  Indonesia, masa tunggu kapal (vessel) di Indonesia masih seperempat sampai sepertiga masa tunggu di Newcastle, artinya hanya sedikit margin keuntungan yang terkena akibat  demurrage.

 

Oleh karena itu kami percaya bahwa pada tahun 2004,  volume produksi batubara Indonesia   akan terpacu pesat untuk mengejar keuntungan harga ekspor dalam US$. Total produksi bisa mencapai 120 juta ton atau lebih dan para produser batubara akan berlomba-lomba meningkatkan produksinya secepat mungkin (Catatan red: berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya tambang batubara di Indonesia, tahun 2004 produksi batubara Indonesia akan mencapai sekitar 135 juta ton).  Sebagaimana pernah diberitakan sebelumnya dalam ICP, Indonesia kemungkinan besar akan menggantikan China sebagai eksporter batubara uap ke-dua dunia dengan volume melebihi 90Mt.  Tahun 2004 nampaknya akan menjadi masa booming bagi industri batubara Indonesia. Inilah saatnya industri batubara di Indonesia semakin tersenyum lebar (edpras).

 

Sumber: The Indonesia Advantage, Indonesia Coal & Power Including Regional Energy News. Barlow-Jonker Publication, Maret 2004.

sumber: