Era Baru pertambangan: Wilayah Pertambangan (2)

Di dalam UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) diatur tentang WIlayah Pertambangan (WP). Dalam Bab I Pasal 1, WP didefinisikan sebagai wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasanadministrasi pemerintahan yangmerupakan bagian dari tata ruang nasional. Pada Bab V Pasal 9 huruf (1) di katakan bahwa WP  sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan. Selanjutnya pada bab dan pasal yang sama huruf (2) disebutkan bahwa WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pmerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

WP terdiri dari Wilayah Usaha Pertambagan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Wilayah Pencadangan Nasional (WPN).  Berdasarkan Pasal 1, WUP adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi dan/atau informasi geologi. WPR adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat. WPN adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional.

Pemanfaatan ruang untuk kegiatan pertambangan juga telah diatur dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana wilayah pertambangan termasuk dalam kawasan budi daya. Berdasarkan UU ini, Pemerintah daerah wajib menyusun RTRW-nya masing-masing (RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten) sebagai bagian ari Rencana Tata Ruang Nasional (Gambar 1).  Pemanfaatan suatu wilayah sesuai dengan peruntukannya. Bila suatu lokasi memiliki potensi sumber daya alam tetapi peruntukannya bukan untuk pemanfaatannya, maka sumber daya alam tersebut tidak dapat dieksploitasi. Meskipun ada peluang untuk revisi atas RTRW yang dapat dilakukan sekali dalam lima tahun, momentum pengembangan energi dan sumberdaya mineral di wilayah tersebut sudah tentu akan berbeda. Oleh karena itu koordinasi dan sinkronisasi dengan instansi terkait dalam penyusunan dan penetapan RTRW ini sangatlah penting.

 \"

Gambar 1. Sistem Perencanaan  Tata Ruang Nasional

 

Pada pengusahaan pertambangan saat ini,  wilayah pertambangan harus manjadi bagian masuk kawasan budidaya pertambangan dalam RTRW pada masing-masing daerah dimana kegiatan pertambangan tersebut berada, karena bila tidak tentu akan timbul persoalan.  Saat ini pada  existing  Kuasa Pertambangan, Kontrak Karya (untuk Mineral), atau Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara (untuk Batubara) tentu juga harus sudah masuk dalam tataran ini. 

Selanjutnya dari sudut pandang penataan ruang khususnya terkait WP, terdapat beberapa  isu sebagai berikut:

1.     Penyebaran sumberdaya ESDM yang tidak merata, baik pada tataran Provinsi maupun tataran Kabupaten/Kota. Kondisi ini mengakibatkan kesenjangan tingkat perkembangan antar daerah penghasil dan daerah sekitar tambang mengingat adanya perbedaan dalam prosentase bagian yang diterimanya atas penerimaan negara sektor ESDM yang didistribusikan ke daerah penghasil.   

2.   Konflik kepentingan antara pemanfaatan ruang untuk kegiatan pertambangan  (eksplorasi, eksploitasi dan pengolahan ESDM) dengan pemanfaatan ruang untuk kegiatan lainnya.

3.     Tumpang tindih kegiatan pertambangan dengan kawasan lainnya (misal: hutan lindung)

4.  Kegiatan pertambangan  ESDM  harus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah setempat. Sementara dalam perspektif penataan ruang, sumberdaya alam dan sumberdaya buatan harus dimanfaatkan secara berdaya guna dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, termasuk masyarakat setempat.  Dalam konteks ini kegiatan pertambangan harus menyatu dengan tatanan sosial-ekonomi setempat. Dengan demikian kegiatan pertambangan di suatu tempat dapat dipandang sebagai suatu peluang untuk mempercepat pengembangan wilayah melalui pengembangan sarana dan prasarana yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, baik untuk kepentingan ekonomi maupun kepentingan lainnya (kesehatan, pendidikan, dan sebagainya).

5.     Kegiatan pertambangan liar (pertambangan tanpa ijin/PETI) telah mengakibatkan degradasi lingkungan pada tingkat yang mengkhawatirkan.

6.      Indonesia memiliki 2,7 juta km2 ruang lautan dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) menurut ketentuan United Nations Convenion on The Law of The Sea (UNCLOS-82) yang belum dimanfaatkansecara optimal.

 

 

      Masalah harmonisasi pelaksanaan kegiatan pada satu wilayah yang melibatkan banyak sektor sering menjadi persoalan di Indonesia. Ada hal yang menarik untuk dapat diambil contoh, yaitu pelaksanan praktek pertambangan di Australia Barat, tepatnya. Alcoa Huntly Mine yang terletak 100 km dari Perth yang merupakan  tambang      bauksit terbesar di Australia, dengan tempat pengolahannya yaitu Alcoa Pinjarra Processing          Facility  yang             terletak bersebelahan dengan tambang bauksit tersebut sebagai tempat pengolahan bauksit hingga menjadi alumina.

 

     Satu hal yang menarik disini adalah bahwa praktek pertambangan di Alcoa Huntly Mine ini memberikan pelajaran penting bagi Indonesia. Pertama dari sisi lokasi Alcoa Pinjarra merupakan sebuah tambang alumina yang terletak di wilayah hutan pohon Jarah (Jarrah Forest). Padahal Jarrah Forest ini merupakan sebuah wilayah hutan yang sangat unik dan dilindungi, karena Jarrah Forest ini merupakan satu-satunya di dunia sebagai native forest yang hanya tumbuh di wilayah tersebut dan sulit tumbuh  di wilayah lain. Sekalipun demikian, ternyata sumberdaya alam ini, baik yang berasal dari tambang maupun hutan dapat di kelola sangat baik, sehingga tidak terjadi konflik kepentingan diantara mereka (gambar 2).

 

\" 

 

 

       Gambar Manajemen wilayahTambang dan Hutan di Alcoa Pinjarra, Australia Barat.

1. Forest Product Commission mengambil hasil hutan sebelum tambang dilakukan;

2. Pemerintah mengatur aneka penggunaan manfaat hutan dan lahan;

3. Tambang bauksit yang dihasilkan dibawa ke crusher sebelum ke tempat pengolahan;

4. Hasil penghijauan bekas tambang Alcoa Huntly Mine. 

(oleh: edpraso)

 

 

 

 

sumber: