Corporate Social Responsibility Bukan hal baru di Pertambangan

Hari ini, 12 September 2007, bertempat di Birawa Room Hotel Bidakara dilangsungkan diskusi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau yang sering dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR). Diskusi tersebut merupakan rangkain terakhir dari acara Pameran dan Seminar Penggunaan Produksi Dalam Negeri Pendukung Pertambangan. Acara tersbut dihadiri para stakeholder pertambangan antara lain, pelaku tambang atau perusahaan, asosiasi, pemerintah daerah, instansi pemerintah, LSM, perguruan tinggi dan masyarakat umum. Bahkan juga dihadiri oleh beberapa anggota DPR dari Komisi VII.

"CSR bukan hal baru di pertambangan, ini sudah menjadi tradisi." Ujar MS Marpaung selaku Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral dan Batubara yang memberikan kertas posisi dalam menyikapi isu CSR dewasa ini. Bahkan Arif Budimanta selaku pemandu dalam acara tersebut juga menyampaikan,bahwa kontroversi ini muncul ketika dalam Pasal 74 Undang-undang Perusahaan Terbatas (UU PT)  yang baru disahkan DPR-RI, ternyata menjadikan CSR sebagai suatu kewajiban perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam (saja!). Serta menjadikannya sebagai obyek sangsi apabila tidak dilaksanakan. Perusahaan tambang umumnya melaksanakan CSR walaupun selama ini tidak diwajibkan karena tanpa melaksanakan itu, yang antara lain tergambarkan dalam kegiatan "Community Development", hampir-hampir sulit mendapatkan izin serta menjalankan operasinya.

Dengan kewajiban itu bahkan akan timbul masalah baru seperti kenaikan biaya produksi, demikian ditambahkan Putu Wiryawan dari PT Adaro. Dan seperti dianggap biaya atau semacam pajak tambahan yang memberatkan perusahaan, belum lagi eksesnya berupa permintaan Pemerintah daerah tertentu yang bisa saja lalu meminta hal tersbut masuk ke dalam APBD daerah. tentu saja ini sudah jauh dari semangat yang ada selama ini. Bahkan Chairul dari DPR-RI mengatakan agar hal tersebut tidak diminta daerah, karena sudah ada pembagian hasil penerimaan royalti antara pemerintah daerah dan pusat yang tentunya ini yang bisa masuk ke APBD.

Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Irwandi Arif), mengatakan bahwa diseluruh dunia sifat CSR adalah voluntary alias sukarela, bukan obligation. Namun hal tersebut ditanggapi oleh anggota DPR yang hadir dengan mengatakan bahwa proses ini telah berlangsung di DPR, dengan hasil seperti tadi dan yang penting sekarang Pemerintah memikirkan bagaimana nanti Peraturan Pemerintah (PP) nya terkait dengan hal tersebut. Disarankan agar dalam PP tentang CSR tersebut agar tidak memebri batasan persentase dalam penentuan besaran CSR tapi dilihat "case-by-case" berdasarkan perusahaan, lokasi, dll.

Pada intinya perusahaan pertambangan melihat kewajiban CSR pada sektor SDA sebagai diskriminasi hukum. Retno pakar dari LIPI mengatakan bahwa, mungkin hal tersebut terjadi akibat dari citra pertambangan akhir-akhir ini yang begitu terpuruk. Adalah tugas seluruh insan pertambangan untuk memberikancitra yang positif terhadap masyarakat akan kegiatan pertambangan termasuk "multifier effect" nya yang selama ini sering dilupana (Edpraso, Sept. 2007)

sumber: