Cegah Pengavlingan atau Resentralisasi

Jawapos, 28 Juni 2004 - Masih soal revisi UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (Otda). Banyak permasalahan pada pasal-pasal yang direvisi yang mengundang perdebatan serius. Antara lain, akan ditariknya kewenangan daerah dalam mengelola laut. Berikut laporannya.
---
Setelah maju-mundur, akhirnya Depdagri secara resmi melimpahkan draf revisi UU Nomor 22/1999 ke DPR. Ini sekaligus menandai berakhirnya polemik institusi mana yang akan lebih dulu melimpahkan draf revisi UU Otonomi Daerah. Apakah pemerintah, DPR, atau wakil asosiasi pemerintahan.

Seperti diketahui, tiga lembaga tersebut saling tunggu untuk menyerahkan draf revisi UU Otda. Kalangan asosiasi pemerintahan sudah menyiapkan draf revisi sebagai langkah antisipasi kalau mungkin tidak dilibatkan dalam pembahasan draf revisi UU Otda di DPR.

Selama tiga pekan pembahasan, draf revisi sudah dibahas di tingkat panitia khusus (pansus). Selama itu pula, proses pembahasan terbilang melibatkan sejumlah kalangan yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah atau stake holder otonomi daerah.

Mereka adalah Apkasi (
kota), Adeksi (DPRD kota), Apeksi (kabupaten), dan APPSI (provinsi). Bahkan, pansus juga mengundang pihak ketiga seperti kalangan perguruan tinggi (khususnya dari luar Jawa) dan LSM Pusat Studi Pengembangan Kawasan (PPSK) yang dikoordinasi Laode Ida.

Di tengah proses pembahasan draf revisi, sejumlah permasalahan otonomi daerah dicuatkan agar menyita perhatian stake holder otonomi daerah. Contohnya, masalah kedudukan DPRD pasca pemilihan kepala daerah secara langsung yang disuarakan kalangan Adeksi, rencana pencabutan pengelolaan laut yang ditentang sejumlah daerah berbasis pesisir, dan pembatasan pemekaran daerah.

Sementara itu, rencana pusat menarik kewenangan daerah mengelola 12 mil batas wilayah laut beberapa waktu lalu sempat diinformasikan oleh pengamat otda Andi Mallarangeng. Kala itu Andi mengingatkan Gubernur DKI Jakarta Sutijoso agar mencermati revisi UU Otda karena pusat akan meresentralisasi kewenangan tersebut.

Penarikan kewenangan tersebut sebagaimana dikemukakan pemerintah untuk meminimalkan konflik pengelolaan dan pengavlingan laut oleh daerah yang sempat mengemuka beberapa waktu lalu. "Dalam draf revisi versi Depdagri, pengambilalihan kewenangan tersebut terkesan pengembalian era sentralisasi sekaligus mengebiri kewenangan daerah," kata Andi.

Soal Pilkada
Terlepas dari itu semua, setidaknya ada
lima permasahan yang kontroversial selama pembahasan draf revisi UU Otonomi Daerah. Pertama, menyangkut pencalonan kepala daerah. Kedua, persyaratan siapa yang boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Ketiga, siapa yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada). Keempat, kapan UU akan diberlakukan. Kelima, bagaimana mekanisme pembagian kewenangan pemerintah pusat-daerah. "Kita sudah inventarisir permasalahan tersebut," kata Agun Gunandjar Sudarsa, wakil ketua panitia khusus (pansus), di sela pembahasan draf revisi UU Nomor 22/1999 di gedung DPR/MPR, belum lama ini.

Mekanisme pilkada dan kedudukan DPRD umumnya mendominasi permasalahan selama pembahasan draf revisi UU Nomor 22/1999. Maklum, proses pilkada secara langsung berimbas pada pertanggungjawaban kepala daerah dan kedudukan DPRD.

Kedudukan DPRD diprediksi bakal tak segarang era UU Nomor 22/1999. Sebab, kepala daerah nanti tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi ke pusat. Bahkan, untuk penyelenggaraan pilkada, DPRD nanti harus menyerahkan kewenangan tersebut kepada KPUD.

Belum lagi, pilkada langsung bakal membuka tarik-menarik parpol dalam pembahasan draf revisi kelak. Untuk saat ini saja, antarfraksi di DPR belum sependapat tentang mekanisme pencalonan dan siapa yang boleh mengusung calon tersebut.

Depdagri sendiri bereaksi keras bahwa revisi UU Nomor 22/1999 bukan merupakan perwujudan resentralisasi kebijakan otonomi daerah. Menurut Mendagri Hari Sabarno, revisi UU tersebut hanya dimaksudkan untuk mengatur kembali kewenangan yang selama ini tidak jelas dan supaya penggunaan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dapat lebih efisien, efektif, dan ekonomis.

"Dengan revisi ini, kita tidak meresentralisasi kekuasaan yang ada atau mengebiri kewenangan daerah, tetapi hanya mengatur kembali kewenangan-kewenangan yang selama ini nggak jelas," kata Mendagri di gedung Depdagri,
Jakarta, baru-baru ini.

Dia mengaskan, daerah tetap mandiri dengan otonomi daerah pascarevisi UU Nomor 22/1999. Hanya, kalau menyangkut pembangunan di kabupaten lain, daerah harus berkoordinasi dengan pemerintah provinsi. Mendagri mendapat hak untuk melakukan pengawasan, misalnya, terhadap peraturan daerah (perda).

"Dapat Anda bayangkan, ada perda aneh. Perda yang memungut retribusi orang ber-KTP dari luar kabupaten yang akan masuk ke kabupaten tersebut. Ini
kan seperti negara dalam negara," katanya.

Mendagri melanjutkan, ada juga perda yang lucu, yakni ternak yang lewat kabupaten tersebut harus mempunyai kartu ternak. "Bayangkan, kalau ayam Anda bertelur dan kemudian menetas, ayam tersebut harus diberikan
surat," ujarnya.

Persoalan yang terjadi karena banyak daerah yang sering membuat perda untuk mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD). Padahal, seharusnya tujuannya mempermudah para investor yang akan masuk dan tidak memebbani mereka dengan berbagai pajak saat akan berinvestasi.

Daerah harus mempermudah izin usaha bagi para investor. Sebab, bila usaha investor tersebut sudah berjalan, pajak dan ekonomi di daerah tersebut akan berkembang.

Menurut dia, kalau bertemu dengan para bupati, dia bercerita soal sapi perah yang mau makan rumput di daerah yang subur rumputnya. Tetapi, di situ ditulis banyak aturan. "Kalau mau makan rumput harus bayar ini dan itu, pastilah sapinya nggak jadi makan rumput tersebut," tuturnya.

Mestinya, lanjut dia, tidak perlu aturan, silakan makan saja. "Nanti kalau kenyang, dia nggak akan ke mana-mana karena gemuk dan susunya bakal menetes terus di daerah tersebut," ucapnya.

Untuk masalah penggunaan dana, kalau sepenuhnya diberikan kepada daerah seperti sekarang, lalu daerah menggunakan dana APBD, bisa bermacam-macam versi dan metodenya. "Semuanya bergantung pada kesepakatan DPRD dan kepala daerahnya," kata Mendagri. (agm)

Enam Permasalahan Kontroversial Draf Revisi Otda

1. Pencalonan kepala daerah
2. Persyaratan siapa yang boleh mencalonkan
3. Siapa penyelenggara pilkada
4. Kapan undang-undang diberlakukan
5. Mekanisme pembagian kewenangan pusat-daerah
6. Resentralisasi kewenangan pengelolaan laut

 

sumber: