Hilirisasi Sebagai Langkah Awal Perubahan Indonesia dari Negara Berkembang Menjadi Negara Industri Maju
Penulis: Juanda Volo Sinaga (Analis Kebijakan Ahli Muda)
Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat besar, terutama sumber daya mineral dan batubara. Ekonomi Indonesia yang dulunya masih berbasis pada ekspor bahan mentah memiliki beberapa kelemahan. Salah satunya adalah ketergantungan pada ekspor bahan mentah yang membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global. Selain itu, ekspor bahan mentah tidak memberikan nilai tambah yang optimal bagi perekonomian domestik. Sebagian besar nilai tambah justru dinikmati oleh negara-negara pengimpor yang mengolah bahan mentah menjadi produk jadi atau setengah jadi. Sejak tahun 2009, pengelolaan sumber daya alam minerba mengalami pergeseran paradigma dari yang hanya menggali, angkut, lalu menjual dalam bentuk bahan mentah menjadi paradigma baru yaitu menggali, angkut, olah/murni menjadi produk turunan lalu kemudian dijual untuk dapat memberikan peningkatan nilai tambah sehingga memberikan peningkatan pendapatan bagi negara Indonesia.
Berbagai instrumen kebijakan seperti UU No. 3 Tahun 2020 sebagai pengganti UU No. 4 Tahun 2009 dan peraturan turunannya telah memaksa pelaku industri pertambangan untuk melakukan hilirisasi minerba. Hilirisasi industri minerba merupakan suatu proses yang dilakukan untuk memberikan nilai tambah dari bahan mentah yang ditambang dari perut bumi sehingga memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar dan menciptakan ekosistem industri yang berkelanjutan dan mandiri. Menyadari pentingnya hilirisasi, Indonesia saat ini semakin menekankan kebijakan program hilirisasi dengan dimasukkannya dalam target menuju Indonesia emas 2045.
Kebijakan tersebut mendorong perusahaan-perusahaan tambang untuk membangun fasilitas pengolahan di dalam negeri atau bekerja sama dengan pihak lain yang memiliki teknologi pengolahan. Peningkatan Nilai Tambah (PNT) melalui hilirisasi memberikan manfaat lain seperti mengurangi tingkat pengangguran dan dapat menciptakan lapangan kerja baru di sektor pengolahan dan industri smelter (Ika, S.,2017). Lebih jauh lagi, pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah yang diberlakukan tahun 2020. Kebijakan ini tidak berjalan mulus, tantangan dialami Indonesia karena kebijakan ini menimbulkan sengketa dengan aturan perdagangan global (WTO).
Tanpa disadari, Indonesia yang masih negara berkembang dipaksa membeli produk setengah jadi seperti besi, baja, alumunium, dan produk lainnya yang dibuat dari bahan hasil pertambangan Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian ESDM mempunyai mandat dalam mengelola kebijakan hilirisasi untuk PNT dari komoditas bahan mentah sehingga memberikan manfaat maksimal bagi negara. Contohnya adalah nikel, yang biasanya diekspor dalam bentuk bijih mentah, kini dapat diolah menjadi produk seperti stainless steel atau bahan baterai untuk kendaraan listrik. Batubara, di sisi lain, dapat diolah menjadi produk energi seperti gasifikasi batubara, yang lebih ramah lingkungan dan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi.
Berikut adalah contoh gambaran PNT dari komoditas nikel dimana dari bahan mentah nikel ore, setelah masuk proses hilirisasi terjadi PNT 4x setelah menjadi feronikel dan 5x ketika menjadi nikelmate. Ketika diproses lagi menjadi bahan setengah jadi bertambah nilainya 5x. Kemudian akan bertambah berkali lipat ketika menjadi barang jadi misal menjadi baterai lithium-ion yang digunakan untuk kendaraan listrik.

Contoh berikutnya PNT komoditas bauksit dari bahan mentah ore bauksit, akan bertambah nilainya 8x lipat ketika sudah melalui proses pemurnian menjadi alumina, dan bertambah 15x nilainya ketika menjadi barang setengah jadi alumunium. Kemudian akan bertambah berkali-kali lipat misal alumunium sudah menjadi bahan jadi untuk kontruksi, kemasan, atau komponen otomotif.

Gambaran PNT dari bijih tembaga komoditas tembaga, akan bertambah berkali lipat ketika menjadi barang jadi misal produk kabel listrik/ komponen elektronik/ produk konstruksi.

Sumber: Data GSKM KESDM, 2021
Dalam tahap hilirisasi, walaupun menawarkan banyak manfaat tetapi implementasinya masih tidak mudah dan menghadapi berbagai tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya infrastruktur yang memadai. Proses hilirisasi membutuhkan fasilitas pengolahan, listrik, transportasi, dan logistik yang efisien. Di banyak daerah di Indonesia, terutama di luar Pulau Jawa, infrastruktur masih menjadi kendala utama. Selain itu, hilirisasi juga memerlukan investasi yang besar, baik dalam bentuk modal maupun teknologi. Banyak perusahaan tambang di Indonesia yang belum memiliki kapasitas atau teknologi untuk melakukan pengolahan sendiri. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan insentif yang menarik bagi investor, baik domestik maupun asing, untuk berinvestasi dalam proyek-proyek hilirisasi.
Menyadari manfaat besar dari peningkatan nilai tambah tersebut, beberapa kebijakan diterbitkan untuk mendorong hilirisasi. Selain larangan ekspor mineral mentah, pemerintah memberikan insentif fiskal dan non fiskal berupa keringanan pajak dan perizinan yang lebih mudah bagi perusahaan yang berinvestasi dalam hilirisasi. Selain itu, pemerintah juga mendorong pembangunan kawasan industri dan fasilitas pengolahan di dekat lokasi tambang untuk mengurangi biaya transportasi dan logistik (Kementerian Perindustrian, 2022). Di sisi lain, pemerintah juga berupaya meningkatkan kapasitas sumber daya manusia melalui program pelatihan dan pendidikan vokasi (BPSDMI, 2023). Hal ini penting untuk memastikan ketersediaan tenaga kerja terampil yang dibutuhkan dalam industri hilirisasi (Hehamony, M.D., 2024).
Namun hilirisasi masih hanya merupakan langkah awal dan belum cukup dalam mendorong Indonesia dari negara industri berkembang menjadi negara industri maju. Kondisi sekarang hilirisasi masih hanya berfokus pada pengolahan dasar yang akan membuat Indonesia tetap berada di posisi rendah dalam rantai nilai global. Untuk benar-benar menjadi industri maju Indonesia perlu mendorong pengembangan produk setengah jadi, produk jadi, dan lebih bagus lagi menjadi produk akhir di industri.
Saat ini dengan adanya kebijakan hilirisasi, kenyataannya adalah “kita belum kemana-mana, masih panjang pekerjaan rumah yang masih belum diselesaikan”. Hilirisasi mineral dan batubara hanyalah langkah awal strategis yang dapat mendorong Indonesia bertransformasi dari negara berkembang menjadi negara industri maju. Dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan mengembangkan industri pengolahan, Indonesia dapat meningkatkan nilai tambah ekonominya, menciptakan lapangan kerja baru, dan memperkuat fondasi industri nasional.
Namun, untuk mencapai tujuan ini, diperlukan upaya yang konsisten dalam pembangunan infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia, serta kebijakan yang mendukung. Jika tantangan-tantangan ini dapat diatasi, tahap hilirisasi akan dapat berjalan sukses. Menuju negara industri maju adalah visi besar yang membutuhkan komitmen dan strategi yang jelas dari pemerintah Indonesia. Ketergantungan pada teknologi asing, rendahnya kualitas SDM, birokrasi yang rumit, dan infrastruktur yang belum memadai adalah beberapa hambatan yang harus diatasi. Evaluasi akan kebijakan hilirisasi dinilai penting, tanpa adanya rencana transfer teknologi, penguasaan industri oleh entitas domestik, perlindungan lingkungan yang ketat dan pengembangan industri secara serentak, kebijakan hilirisasi ini hanya akan menjadi alat industrialisasi negara lain, sementara Indonesia hanya akan berperan sebagai pemasok barang setengah jadi yang murah bagi kapitalis global (Naryono, E., 2023).
Saat ini untuk capaian rencana hilirisasi batubara hingga tahun 2030 ada sebanyak 11 (sebelas) perusahaan tambang batubara yang akan melakukan kegiatan PNT dan 3 (tiga) diantaranya yakni PT Megah Energi Khatulistiwa, PT Thriveni, dan PT Bukit Asam yang sudah berproduksi untuk menghasilkan semi kokas dan briket. Sedangkan komoditas nikel terdapat 353 IUP dan KK, dengan jumlah smelter sebanyak 148 unit, dimana 18 unit merupakan kewenangan Kementerian ESDM dan 130 smelter adalah IUI merupakan kewenangan Kementerian Perindustrian. Pembagian kewenangan ini merupakan dampak diberlakukannya Undang-Undang 3 Tahun 2020 terhadap perizinan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) khusus pengolahan dan pemurnian. Jika kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian terintegrasi maka mulai dari penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian, sampai penjualan menjadi kewenangan KESDM, sedangkan kegiatan pengolahan dan/ atau pemurnian sendiri (stand alone) menjadi kewenangan Kementerian Perindustrian baik perizinan maupun pembinaan dan pengawasannya. Pembagian kewenangan ini sebaiknya segera disikapi dengan semangat kolaboratif. Dualisme kewenangan untuk izin smelter nikel misalnya, membuat pembangunan smelter menjadi tidak terkendalikan. Ketersediaan bahan baku mentah tambang kita jumlahnya terbatas, sedangkan perizinan IUI yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian banyak sehingga jika dibiarkan maka akan terjadi isu kekurangan pasokan.
Selain itu pengelolaan mineral kritis menjadi isu penting dalam kebijakan hilirisasi dan industrialisasi Indonesia. Indonesia semakin serius dalam mengelola mineral kritis dengan diterbitkannya Kepmen ESDM Nomor 296 tahun 2023 tentang penetapan jenis mineral kritis. Mineral kritis ini penting karena akan menjadi bahan baku yang sangat dibutuhkan dalam berbagai industri teknologi tinggi atau dalam industri strategis nasional. Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara lain yang sudah sangat fokus dalam perlindungan terhadap mineral kritisnya seperti Amerika Serikat dengan Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA), Uni Eropa dengan Undang-Undang Mineral Mentah Kritis (CRM), Kanada dan Australia dengan Strategi Mineral Kritis. Semoga semangat hilirisasi minerba ini menjadi pilar kokoh yang mendorong Indonesia bertransformasi dari negara berkembang menjadi kekuatan industri maju, membawa kemakmuran bagi bangsa dan berdiri sejajar di panggung global.
Sumber:
- Ika, S. (2017). Kebijakan Hilirisasi Mineral: Policy Reform untuk Meningkatkan Penerimaan Negara. Kajian Ekonomi dan Keuangan, 1(1), 42-67.
- Naryono, E. (2023). “Trade Barrier” Is The Main Challenge For The Dilirization Of Indonesian Mining Products (No. qhgdb). Center for Open Science.
- Kementerian ESDM. (2021). Grand Strategy Mineral dan Batubara.
- Kementerian Perindustrian. (2022). Kebijakan Pengembangan Industri Nasional. Dapat diakses dalam: https://kemenperin.go.id
- Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri. (2023). Program Pelatihan dan Pendidikan Vokasi untuk Meningkatkan Daya Saing Industri. BPSDMI Kementerian Perindustrian. Dapat diakses dalam: https://bpsdmi.kemenperin.go.id
- Hehamony, M. D. (2024). Kebijakan Hilirisasi Pertambangan Dalam Hukum Bisnis Nasional. SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hukum, 3(4), 335-341.
Editor: NM