Tanggung Jawab Direksi Perusahaan dalam Keselamatan Aktivitas Pertambangan
Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan
Batubara Hendra Gunawan menyampaikan bahwa pelaksanaan
kaidah teknik pertambangan yang baik adalah kewajiban pemegang izin. Pelaksanaan
kaidah teknik pertambangan yang baik, berupa kebijakan, program, organisasi,
dan perangkat yang handal membutuhkan komitmen dan dukungan pemegang izin.
Hal
ini disampaikan saat memimpin Focus Group Discussion tentang Pengelolaan Keselamatan
Pertambangan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara di Bandung (25/10).
Hendra
menyatakan, “Untuk itu pemerintah telah membuat
ketetapan dan pengaturan terkait pengelolaan keselamatan pertambangan dalam
bentuk regulasi maupun NSPK”.
Hendra
merinci empat hal yang menjadi peranan direksi dalam aktivitas pertambangan
terkait keselamatan pertambangan. Dimulai dari menetapkan kebijakan perusahaan,
menyusun dan mengawasi program keselamatan pertambangan. Lalu menyediakan
struktur organisasi yang handal, sesuai ketentuan untuk implementasikan Sistem
Manajemen keselamatan pertambangan. Direksi juga berperan dalama, menyediakan
personil kompeten, sarana dan prasarana pertambangan yang aman dan layak
operasi.
Badan usaha wajib
memastikan kewajiban pemegang izin memenuhi ketentuan keselamatan pertambangan,
pengelolaan pemantauan lingkungan (reklamasi dan pasca tambang), serta konservasi
mineral dan batubara. Badan usaha juga harus mengelola sisa hasil tambang dibantu
oleh Kepala Teknik Tambang (KTT).
Hendra meminta para
direksi badan usaha pertambangan mendukung penuh KTT, selama yang bersangkutan
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. KTT menjadi orang yang
menjalankan sebagian tanggung jawab dari pemegang izin untuk melaksanakan
kaidah teknik pertambangan yang baik.
”Berikan peran KTT sebagai orang tertinggi di lapangan
dalam mengelola kaidah teknik tambang yang baik, sesuai regulasi”, lanjut Hendra.
Lebih lanjut Hendra memaparkan permasalahan bisa saja terjadi,
bila KTT bukanlah orang yang tertinggi di lapangan. Tidak ada kepemimpinan
dalam pelaksanaan operasional karena KTT bukan pengambil keputusan dan tidak
memiliki kewenangan penuh di lapangan. Kondisi ini menyebabkan program
keselamatan pertambangan hanya sekedar pemenuhan peraturan semata.
Hal penting lainnya apabila KTT berstatus karyawan
kontrak, maka dukungan program dari pemegang izin tidak sepenuhnya tercapai.
Akibatnya KTT dapat keluar dari perusahaan sebelum menjalankan tugas dan
kewajibannya (kurang dari 2 tahun).
Hendra menambahkan
penyediaan tenaga teknis pertambangan yang
berkompeten juga tidak kalah penting. Operasional tambang yang padat risiko
harus dikelola oleh orang berkompeten. Dalam membentuk lingkungan kerja yang
positif dan progresif, semestinya perusahaan memandang tenaga kerja sebagai aset.
Di
samping sumber daya, Hendra menekankan bahwa sarana, prasarana, instalasi, dan peralatan
pertambangan merupakan perangkat wajib kegiatan operasional pertambangan.
Selain membantu operasional, perangkat ini juga berpotensi menjadi sumber
bahaya. Penggunaan yang tidak sesuai prosedur, ketidakmampuan mengoperasikan bahkan
ketidaklayakan, menjadi tantangan yang harus ditidadakan.
“Badan
usaha harus memiliki sistem pemeliharaan, perawatan serta pengujian kelayakan
secara berkala oleh orang yang berkompeten”, pungkas Hendra. (ER)