Batubara Indonesia: Pilar Utama Energi di Era Transisi Energi dan Hilirisasi Menuju Kemandirian Bangsa
Penulis: Juanda Volo Sinaga (Analis Kebijakan Ahli Muda)
Indonesia sedang mengalami perubahan besar dalam sektor energi, yakni kondisi ketika kebutuhan energi domestik terus meningkat, sementara tekanan global untuk beralih ke energi yang lebih bersih semakin kuat dengan adanya komitmen pemerintah untuk melakukan transisi energi. Selain menjadi sumber energi utama yang menopang pertumbuhan ekonomi, batubara juga memainkan peran ganda yang krusial yaitu sebagai sumber devisa negara yang didapat dari kegiatan ekspor.
Batubara dan Kebutuhan Energi Nasional
Saat ini batubara masih menjadi fondasi utama dalam bauran energi Indonesia, terutama untuk memenuhi kebutuhan listrik domestik. Di dalam memenuhi kebutuhan listrik, sebesar 67% pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih sepenuhnya belum dapat melepaskan diri dan sangat bergantung pada penggunaan batubara sebagai sumber energi meski dunia terus bergerak menuju energi terbarukan.
Kita tentu sering mendengar kata “hilirisasi” atau Peningkatan Nilai Tambah (PNT) mineral dan batubara digaungkan di negeri ini. Kebijakan hilirisasi di sektor mineral dan batubara merupakan program strategis nasional yang sedang dijalankan pemerintah hingga saat ini dan juga akan dilanjutkan presiden terpilih yang diyakini sebagai langkah awal yang akan membawa Indonesia dari negara berkembang menjadi negara industri maju. Dalam menjalankan kegiatan hilirisasi tersebut, tentu saja industri-industri membutuhkan energi dalam jumlah besar terutama untuk smelter nikel, bauksit-aluminium, tembaga dan industri pengolahan/pemurnian lainnya. Selain memerlukan energi yang besar, industri-industri tersebut juga memerlukan adanya pasokan listrik yang stabil. Contohnya berdasarkan laporan International Energy Agency, untuk memproduksi satu ton nikel dengan metode pirometalurgi dibutuhkan listrik yang cukup besar yaitu 13-15 MWh. Proses ini membutuhkan energi besar karena menggunakan proses dengan suhu tinggi untuk mengolah bijih nikel laterit menjadi ferronickel (FeNi) atau nickel pig iron (NPI). Indonesia, sebagai salah satu produsen nikel terbesar di dunia, sangat membutuhkan pasokan listrik yang stabil untuk mendukung proses produksinya. Hingga saat ini sebagian besar kebutuhan energi tersebut masih dipenuhi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara. Oleh karena itu, batubara akan tetap menjadi tulang punggung utama dalam memenuhi kebutuhan energi Indonesia.
Meskipun ada dorongan kuat untuk menggunakan energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin, namun kondisi infrastruktur dan teknologi serta keekonomiannya belum siap untuk menggantikan peran batubara dalam skala besar. Realisasi capaian EBT saat ini hanya 12,5?ri target RPJM yang ditetapkan sebesar 17,9% pada tahun 2023, dan 23% pada tahun 2025. Selain itu salah satu tantangan utama penggunaan energi terbarukan adalah sifatnya yang intermittent yaitu ketidakmampuan untuk menghasilkan listrik secara terus-menerus/kontinu sepanjang hari. Ketidakpastian ini tentu menjadi kendala besar bagi sektor industri yang membutuhkan pasokan listrik stabil dan konsisten. Industri seperti smelter nikel, memerlukan energi secara konstan untuk mempertahankan produktivitas tinggi. Dalam jangka menengah hingga jangka panjang, PLTU berbasis batubara seharusnya masih menjadi solusi yang paling realistis dan efisien untuk menjaga pasokan listrik nasional.
Negara kita sedang bergerak dari negara berkembang menuju negara maju dengan target akan mencapai Indonesia Emas tahun 2045. Tentunya pertumbuhan ekonomi tinggi akan dicapai apabila hilirisasi mineral dan industrialisasi bertumbuh secara masif. Energi merupakan salah satu instrumen menarik investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tersebut. Tidak ada negara yang berkembang pesat ekonominya tanpa dukungan energi. Oleh karena itu, menurut pandangan saya rencana kebijakan pensiun dini PLTU batubara sebaiknya tidak dilakukan terburu-buru. Kita seharusnya bisa belajar dari pengalaman Inggris yang berhasil menggerakkan revolusi industrinya dengan memanfaatkan sumber energi murah batubara. Menariknya, Inggris baru saja menghentikan operasional PLTU batubaranya pada akhir September lalu, setelah beroperasi selama 142 tahun. Sementara Indonesia baru menggunakan PLTU batubara sekitar 50 tahun, yang berarti usianya masih relatif muda-belia dengan demikian tidak perlu memaksakan diri untuk pensiun dini. Biarkan PLTU batubara beroperasi lebih panjang lagi sesuai dengan usia yang wajar dan memberikan manfaat maksimal bagi ekonomi negara.
Peran Batubara Dalam Ekonomi dan Sosial
Selain batubara menjadi sumber energi, batubara juga berperan menjadi salah satu kontributor terbesar terhadap pendapatan negara melalui ekspor. Tahun 2023 sektor batubara menyumbang PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) kurang lebih 100 triliun rupiah diluar pajak. Indonesia sebagai salah satu pengekspor batubara terbesar di dunia, menyumbang sekitar 30-40?ri kebutuhan batubara global. Dengan adanya pasar ekspor batubara, terutama ke negara-negara seperti China dan India, berdampak sangat signifikan bagi perekonomian nasional. Selain itu dengan adanya industri pertambangan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat khususnya di sekitar tambang. Berdasarkan data Ditjen Minerba tahun 2023, perusahaan pertambangan telah menyerap lebih dari 330 ribu pekerja dan telah menggelontarkan kurang lebih 2,5 triliun rupiah untuk kegiatan program pemberdayaan masyarakat sekitar tambang. Hal ini menunjukkan bahwa dampak ekonomi dan sosial kegiatan pertambangan batubara ini sangat dirasakan oleh masyarakat.
Namun, seiring meningkatnya kebutuhan energi dalam negeri, muncul dilema yang harus dihadapi pemerintah. "Apakah batubara akan lebih difokuskan untuk memenuhi kebutuhan domestik, atau tetap dipertahankan sebagai komoditas ekspor utama?" Pilihan ini menjadi semakin kompleks ketika mempertimbangkan fakta bahwa pengurangan ekspor batubara Indonesia dapat berdampak besar pada harga global. Kenaikan atau penurunan produksi batubara di Indonesia sangat memengaruhi supply-demand global dan harga pasar internasional.
Dalam konteks ini, menjaga tingkat produksi batubara nasional menjadi prioritas strategis yang harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Mengurangi kran ekspor batubara untuk memastikan pasokan dalam negeri mencukupi adalah langkah yang perlu dipertimbangkan, namun harus diimbangi dengan kebijakan yang dapat menjaga stabilitas harga global. Jika produksi batubara Indonesia turun drastis maka harga batubara global bisa melonjak, sehingga memengaruhi industri global dan mengurangi daya saing internasional. Sebaliknya jika produksi batubara Indonesia naik drastis, maka harga batubara akan turun, industri batubara skala kecil akan banyak yang gulung tikar dan akan menyisakan masalah lingkungan dan sosial. Namun industri batubara skala besar akan berusaha meningkatkan produksi untuk menjaga tingkat revenue perusahaan. Jika ini terus menerus dilakukan maka harga batubara akan semakin turun, negara akan rugi dalam dua hal yaitu penurunan ketahanan cadangan secara drastis berpengaruh kepada menurunnya ketahanan energi dan penerimaan negara dari PNBP akan sangat kecil, karena kita menjual volume batubara dalam jumlah besar dengan harga murah.
Strategi Mempertahankan Produksi Batubara
Dalam menghadapi tantangan ini, Indonesia harus merumuskan strategi yang bijaksana untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan energi domestik dan ekspor. Batubara tidak hanya menjadi solusi bagi pasokan energi dalam negeri, tetapi juga instrumen penting dalam mengelola perekonomian negara. Keputusan mengenai tingkat produksi dan ekspor harus didasarkan pada analisis supply-demand yang matang dan mempertimbangkan dampak ekonomi serta geopolitik di pasar global.
Salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah memastikan bahwa produksi batubara nasional tetap stabil, sementara ekspor dikurangi secara bertahap untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dengan pendekatan ini, Indonesia dapat menjaga ketahanan energi nasional sekaligus mempertahankan posisi strategisnya sebagai pemain kunci di pasar batubara global. Produksi yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menciptakan volalitas yang tidak hanya berpengaruh pada ekonomi nasional, tetapi juga pada harga internasional.
Selain itu, efisiensi dalam penggunaan batubara harus ditingkatkan. Teknologi batubara bersih, seperti hilirisasi batubara di hulu dan teknologi CCS dan CCUS di hilir (PLTU), mulai didorong menjadi solusi. Karena masa depan batubara Indonesia selain untuk bahan bakar energi adalah peningkatan nilai tambah menjadi DME, gas, pupuk, kokas dll. Sehingga peningkatan produksi turunan batubara tersebut menjadi concern pemerintah sebagaimana diatur dalam UU 3 Tahun 2020 khususnya kepada pemegang PKP2B yang sudah mendapatkan perpanjangan menjadi IUPK.
Upaya ini juga kita bisa jadikan sebagai bagian dari strategi negosiasi untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia serius dan berusaha untuk mengurangi emisi walapun dalam pelaksanaannya masih “jauh panggang dari api” karena kita memilih untuk realistis, tetapi setidaknya dunia bisa melihat bahwa Indonesia sudah berusaha. Kita berharap negara-negara maju, yang sudah lebih dulu menikmati energi batubara yang murah dan telah menghantarkan mereka menjadi negara maju dapat membantu Indonesia dalam hal pendanaan dan teknologi. Jika tidak, tekanan untuk segera beralih dari batubara ke energi bersih sebaiknya tidak menjadi isu yang terburu-buru untuk disikapi.
Pesaing Batubara di Masa Depan
Meskipun batubara masih menjadi pilihan utama, gas alam semakin dilihat sebagai pesaing utama dalam sektor energi. Gas alam menawarkan emisi yang lebih rendah dibandingkan batubara, menjadikannya pilihan yang lebih ramah lingkungan dalam konteks transisi energi. Namun, infrastruktur gas alam di Indonesia belum cukup berkembang untuk menjadi pengganti batubara dalam jangka pendek. Jaringan pipa gas dan fasilitas distribusi masih terbatas, dan pengembangan infrastruktur ini memerlukan investasi besar. Selain itu, harga gas di pasar internasional yang berfluktuasi membuat gas alam kurang stabil dibandingkan batubara sebagai sumber energi utama bagi industri. Oleh karena itu, meskipun gas alam memiliki potensi besar sebagai sumber energi yang lebih bersih, batubara tetap menjadi solusi yang paling efisien dan terjangkau untuk kebutuhan energi Indonesia saat ini.
Pesaing lainnya batubara di masa mendatang adalah energi nuklir. Ada yang mengatakan bahwa hanya energi nuklir lah yang bisa menghilangkan peranan batubara dengan sangat cepat karena energi nuklir menawarkan energi yang besar dan stabil. Akan tetapi menurut pandangan saya, batubara belum dapat digantikan sepenuhnya oleh nuklir karena aspek keselamatan menjadi kekhawatiran utama, terutama terkait risiko kebocoran radiasi dan penanganan limbah nuklir. Selain itu negara yang memegang otoritas teknologi nuklir global seperti Amerika Serikat, Rusia dan Prancis yang mendominasi akses dan pengembangan teknologi ini. Kondisi ini membuat Indonesia belum dapat mandiri dalam penguasaan energi nuklir dan adanya tantangan bagi kedaulatan energi. Ketidakberdaulatan dalam energi sesungguhnya akan menjadikan sebuah negara mudah dilumpuhkan dan Indonesia harus hati-hati memilih jalan ini.
Di tengah tantangan global, batubara tetap menjadi pilihan paling realistis untuk kemandirian energi Indonesia. Cita-cita menuju Indonesia Emas 2045, batubara bukan hanya solusi, tapi kunci bagi ketahanan dan pertumbuhan ekonomi bangsa. Dengan memaksimalkan potensi ini dan menjaga produksi batubara, kita siap berdaulat di atas energi sendiri, kuat menghadapi masa depan. Semoga Indonesia semakin berdaulat dalam pengelolaan energi di masa mendatang.
Foto & Editor: NM
sumber: HumasMinerba