Peningkatan Nilai Tambah Mineral di Balik Pemenang Nobel Fisika 2014
Merujuk kepada rubrik Sosok harian Kompas Edisi Kamis, 9 Oktober 2014, Hadiah Nobel bidang fisika tahun 2014 telah diberikan kepada 3 Ilmuwan kelahiran Jepang yaitu Shuji Nakamura, Hiroshi Amano, dan Isamu Akasaki. Hadiah Nobel Fisika tersebut diberikan atas penemuan spektakuler mereka yaitu BlueLight-Emitting Diode (LED Biru) untuk melengkapi mata rantai yang hilang semenjak ditemukannya LED Hijau dan merah pada pertengahan abad ke-20. LED Biru merupakan sumber energy baru yang lebih efisien dan ramah lingkungan yang dapat digunakan sebagai sumber cahaya sebagai pengganti lampu pijar yang boros energi.
Dalam rilis resmi yang disampaikan oleh Komite Nobel menyatakan bahwa penemuan LED Biru ini berkontribusi kepada penghematan pemakaian sumber daya bumi, mengingat seperempat dari konsumsi listrik dunia digunakan untuk penerangan. Lampu LED mampu bertahan 10 – 100 kali lebih lama dibandingkan dengan lampu pijar. LED Biru dapat dibuat berkat adanya Gallium yang merupakan logam jarang dan rapuh, biasanya berasosiasi dalam bauksit dan seng. Gallium pada umumnya dihasilkan sebagai produk samping (byproduct) kegiatan pengolahan dan pemurnian bijih bauksit dan bijih seng.
Gallium dalam bentuk Gallium Arsenida (GaAs) dan Gallium Nitrida (GaN) banyak digunakan dalam industry elektronik seperti smartphone dan LED Biru. Dengan penemuan LED Biru tersebut maka akan meningkatkan permintaan gallium di dunia. Saat ini negara yang banyak menghasilkan gallium antara lain Cina, Jerman, Jepang dan Rusia. Patut diduga terdapat korelasi antara banyaknya smelter aluminium dan seng di negara-negara tersebut dengan kedudukan mereka sebagai produsen Gallium utama Dunia. Ironisnya, sebagian besar bahan baku bijih bauksit diimpor dari Indonesia. Sejak 1938, Indonesia mengekspor bijih bauksit keluar negeri terutama Jepang. Bijih bauksit tersebut kemudian diekstrak di luar negeri yang antara lain menghasilkan gallium dan unsur jarang lainnya sebagai produk samping.
Sudah cukup lama Indonesia tidak memperoleh nilai tambah dari mineral seperti yang sudah dirasakan oleh negara-negara lainnya. UU Nomor 4 Tahun 2009 memberikan arah baru tatakelola pertambangan (mining governance) untuk lebih mengutamakan “national interest†sehingga sudah saatnya dilakukan peningkatan nilai tambah mineral di dalam negeri. Berkaitan dengan hal ini, sejak 12 Januari 2014, seluruh bijih bauksit yang ditambang dari Indonesia wajib diolah dan dimurnikan di dalam negeri. Dalam konteks ini maka Indonesia memiliki peluang untuk memproduksi dan mengekspor gallium sebagai by product pengolahan dan pemurnian aluminium yang harganya berkisar 150 – 200 $/gram dalam bentuk gallium 99%, harga tersebut bernilai 5 kali lipat harga emas. Saat ini gallium yang digunakan dalam industri LED dan lainnya baru sekitar 10% dari sumberdaya yang ada di tambang bauksit.
Fakta di atas membuka kesadaran sekaligus menambah keyakinan kita tentang arti penting karunia potensi sumberdaya mineral yang sangat melimpah di Negeri kita. Seperti kita ketahui bersama mineral tanah jarang (rare earth minerals) pada umumnya berasosiasi dengan bijih nikel, timah dan tembaga. Gallium yang menjadi trending topic hari ini, hanyalah sebagian kecil dari mineral jarang yang ada di Indonesia yang berguna untuk menopang kemajuan peradaban manusia di muka bumi. Sebut saja Lanthanum, Neodymium, dan Cerium yang dijumpai pada cebakan bijih timah ternyata sangat berguna untuk memproduksi Baterei Hybrid yang dipakai pada mobil irit bahan bakar. Sudah saatnya, langkah tepat yang telah diambil Pemerintah ini mendapatkan dukungan dari semua komponen anak bangsa untuk mewujudkan kedaulatan Negara atas pengelolaan sumberdaya mineral yang dimiliki.(LTJ)
sumber:
Dalam rilis resmi yang disampaikan oleh Komite Nobel menyatakan bahwa penemuan LED Biru ini berkontribusi kepada penghematan pemakaian sumber daya bumi, mengingat seperempat dari konsumsi listrik dunia digunakan untuk penerangan. Lampu LED mampu bertahan 10 – 100 kali lebih lama dibandingkan dengan lampu pijar. LED Biru dapat dibuat berkat adanya Gallium yang merupakan logam jarang dan rapuh, biasanya berasosiasi dalam bauksit dan seng. Gallium pada umumnya dihasilkan sebagai produk samping (byproduct) kegiatan pengolahan dan pemurnian bijih bauksit dan bijih seng.
Gallium dalam bentuk Gallium Arsenida (GaAs) dan Gallium Nitrida (GaN) banyak digunakan dalam industry elektronik seperti smartphone dan LED Biru. Dengan penemuan LED Biru tersebut maka akan meningkatkan permintaan gallium di dunia. Saat ini negara yang banyak menghasilkan gallium antara lain Cina, Jerman, Jepang dan Rusia. Patut diduga terdapat korelasi antara banyaknya smelter aluminium dan seng di negara-negara tersebut dengan kedudukan mereka sebagai produsen Gallium utama Dunia. Ironisnya, sebagian besar bahan baku bijih bauksit diimpor dari Indonesia. Sejak 1938, Indonesia mengekspor bijih bauksit keluar negeri terutama Jepang. Bijih bauksit tersebut kemudian diekstrak di luar negeri yang antara lain menghasilkan gallium dan unsur jarang lainnya sebagai produk samping.
Sudah cukup lama Indonesia tidak memperoleh nilai tambah dari mineral seperti yang sudah dirasakan oleh negara-negara lainnya. UU Nomor 4 Tahun 2009 memberikan arah baru tatakelola pertambangan (mining governance) untuk lebih mengutamakan “national interest†sehingga sudah saatnya dilakukan peningkatan nilai tambah mineral di dalam negeri. Berkaitan dengan hal ini, sejak 12 Januari 2014, seluruh bijih bauksit yang ditambang dari Indonesia wajib diolah dan dimurnikan di dalam negeri. Dalam konteks ini maka Indonesia memiliki peluang untuk memproduksi dan mengekspor gallium sebagai by product pengolahan dan pemurnian aluminium yang harganya berkisar 150 – 200 $/gram dalam bentuk gallium 99%, harga tersebut bernilai 5 kali lipat harga emas. Saat ini gallium yang digunakan dalam industri LED dan lainnya baru sekitar 10% dari sumberdaya yang ada di tambang bauksit.
Fakta di atas membuka kesadaran sekaligus menambah keyakinan kita tentang arti penting karunia potensi sumberdaya mineral yang sangat melimpah di Negeri kita. Seperti kita ketahui bersama mineral tanah jarang (rare earth minerals) pada umumnya berasosiasi dengan bijih nikel, timah dan tembaga. Gallium yang menjadi trending topic hari ini, hanyalah sebagian kecil dari mineral jarang yang ada di Indonesia yang berguna untuk menopang kemajuan peradaban manusia di muka bumi. Sebut saja Lanthanum, Neodymium, dan Cerium yang dijumpai pada cebakan bijih timah ternyata sangat berguna untuk memproduksi Baterei Hybrid yang dipakai pada mobil irit bahan bakar. Sudah saatnya, langkah tepat yang telah diambil Pemerintah ini mendapatkan dukungan dari semua komponen anak bangsa untuk mewujudkan kedaulatan Negara atas pengelolaan sumberdaya mineral yang dimiliki.(LTJ)