Suku Bunga Tinggi dan Efek Sistemik
ÂÂ
Minggu, 18 Desember 2005, 06:53 WIB
Suku Bunga Tinggi dan Efek Sistemik
Laporan -
Oleh: Djoko Retnadi*)
Kenaikan BI Rate yang selalu diikuti oleh kenaikan suku bunga SBI dan suku bunga penjaminan simpanan telah menimbulkan efek berantai. Biaya dana naik langsun mengenai suku bunga kredit. Bila bank tetap memelihara selisih bunga bersih (NIM/Net Interest Margin) sekitar 4-10%, dengan BI Rate 12,75%, suku bunga kredit akan 16,75%-22,75%.
Suku bunga kredit akan mengikuti suku bunga penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Bagaimanapun, suku bunga kredit sangat tergantung pada perubahan suku bunga deposito. Skenario ini akan terus berjalan karena struktur pendanaan perbankan masih didominasi oleh deposito (48,15% per September 2005), sedangkan tabungan hanya 26,04% dan giro sebesar 25,82%. Bahkan, deposito berjangka satu bulan yang sangat sensitif terhadap perubahan suku bunga penjaminan per September 2005 mencapai 76% dari total deposito perbankan.
Tentu saja efek peningkatan suku bunga penjaminan tidak harus diikuti dengan kenaikan suku bunga kredit secara serentak (one to one) oleh seluruh bank. Sebab, komposisi sumber dana pihak ketiga setiap bank berbeda-beda. Namun, suku bunga kredit pasti naik ketika bank harus menyesuaikan suku bunga simpanan.
Efek kenaikan suku bunga kredit secara teoritis langsung berpengaruh pada kemampuan membayar kembali debitor dan berpotensi meningkatkan kredit bermasalah (NPL). Namun, strategi menaikkan suku bunga kredit sangat tergantung pada komposisi pinjaman yang ada di bank. Umumnya, bank akan menaikkan suku bunga yang bersifat mengambang. Bagi bank yang portofolio kreditnya didominasi oleh pinjaman konsumsi, umumnya tidak akan ada perubahan atau meningkat sedikit. Sebab, suku bunga jenis kredit ini dari awalnya sudah cukup tinggi.
Kredit Tak Dicairkan
Akibat kenaikan suku bunga, perbankan merasakan debitor tidak segera memanfaatkan kredit yang sudah disetujui (undisbursed loan). Per September 2005, jumlah undisbursed loan menjadi Rp 157,3 triliun dari periode sama 2004 yang hanya Rp 130,4 triliun. Bila fenomena ini berlanjut, bank akan merugi karena penerimaan bunga kredit tidak maksimum. Sebaliknya, bank tetap wajib menyediakan dana dan modal terkait perhitungan capital adequacy ratio (CAR).
Bila bunga penjaminan terus meningkat dan BI menerapkan kebijakan moneter ketat, bankir khawatir akan menghadapi dua potensi ancaman, yaitu kelangkaan likuiditas dan meningkatnya NPL. Untuk sementara, bank masih bisa memenuhi likuiditas meski harus mengeluarkan biaya tinggi. Hasilnya, perbankan akan beroperasi pada tingkat efisiensi lebih buruk. Indikator rasio biaya operasional terhadap pendapatan oprasional (BOPO) semakin membesar.
Untuk menghadapi meningkatnya NPL, perbankan perlu memiliki strategi komprehensif dan matang. Sebab, sekali NPL tinggi dampaknya akan merembet ke seluruh aspek kinerja bank, seperti profitabilitas, likuiditas, dan permodalan. Hingga kini, perbankan masih hidup dengan mengandalkan spread antara harga jual kredit dan seluruh biaya yang dikeluarkan (termasuk biaya dana).
BI telah mengindikasikan, spread minimal untuk bank sehat adalah 1,25% (return on asset/ROA). Berdasarkan rasio itu, setiap Rp 100,- bunga yang diterima bank, sebesar Rp 1,25,- akan menjadi keuntungan bank. Kondisi ini dapat terjadi bila seluruh kredit berstatus lancar. Bila debitor tidak membayar penuh (misalnya kolektibilitas telah menjadi kurang lancar atau diragukan), keuntungan bank akan berkurang.
Bahkan, bank akan kehilangan pokok pinjaman bila kredit menjadi macet. Bila pokok pinjaman awal sebesar Rp 1.000,- untuk menutupi kerugian (loss) pokok pinjaman, bank harus menciptakan pinjaman baru yang dapat menghasilkan penerimaan bunga minimal sebesar Rp 80.000,- (Rp 1.000,-/1,25%) per tahun agar bank segera memperoleh spread sebesar Rp 1.000,-.
Dari ilustrasi itu, dapat dibayangkan berapa triliun rupiah pendapatan bunga yang harus diperoleh bank bila kredit macetnya sebesar Rp 1 triliun. Karena margin laba sangat kecil, setiap kali NPL membengkak, akan berpotensi menimbulkan efek sistemik. Sebab, bank akan kesulitan untuk menjaga profitabilitas, likuiditas, dan kemerosotan modal. Kondisi itu dapat menyebabkan turunnya kepercayaan nasabah (reputation risk). Untuk menghindari efek sistemik atas timbulnya NPL, bank wajib mengembangkan sumber pendapatan lain di luar kredit. Hal itu bisa dijadikan bantal (cushion) ketika bank diterpa kredit macet.
Meski dampak kenaikan suku bunga saat ini belum separah kondisi 1999, belum adanya kepastian suku bunga akan turun, tampaknya perlu menjadi pertimbangan, khususnya bagi bank kecil dalam meneruskan usahanya. Terlebih lagi, pada 2006 masih terdapat potensi peningkatan inflasi akibat kenaikan upah minimum regional (UMR), kenaikan gaji pegawai negeri, maupun potensi kenaikan tarif listrik.
Hal itu belum mempertimbangkan efek eksternal, yakni kemungkinan kenaikan bunga The Fed dan bergejolaknya harga minyak dunia. Dengan skenario semacam itu, tampaknya terlalu optimistis bila pada 2006 mengharapkan terjadinya penurunan suku bunga seperti kondisi 2004 hingga awal 2005.
Eksistensi Bank Kecil
Mengapa saya skeptis terhadap eksistensi bank kecil? Meski sebagian bank kecil berkinerja bagus, peta persaingan akan sangat berbeda dibandingkan kondisi sebelumnya. Semakin kuatnya tekad BI untuk tidak menunda konsolidasi perbankan, menunjukkan bahwa usaha perbankan semakin sarat kebutuhan modal. Bisnis bank ke depan adalah persoalan skala usaha (size does matter).
BI telah mengisyaratkan hal itu dengan mewajibkan bahwa pembukaan bank baru harus memiliki modal minimum Rp 3 triliun. BI juga mengkaji kebijakan satu pemegang saham mayoritas hanya boleh memiliki satu bank (on single presence). BI juga mensyaratkan adanya berbagai ketentuan perbankan yang mengacu pada standar internasional. Kemungkinan hal itu hanya dapat dipenuhi oleh bank yang memiliki skala tertentu. Bila bank terlalu kecil, bagaimana mereka dapat menerapkan sistem informasi debitor yang sarat dengan teknologi?. Untuk pengadaan seluruh fasilitas itu dibutuhkan investasi besar.
Mana yang lebih bermafaat bagi masyarakat dan negara, bank kecil dengan kinerja bagus atau bank besar dengan kinerja bagus. Jika kondisisnya demikian, dua-duanya bermanfaat. Namun, BI akan mendorong terwujudnya bank besar dengan kinerja baik. Satu contoh ekstrem, mana lebih baik, bank kecil dengan ROA 4%, atau bank besar dengan ROA 1%. Jika hanya melihat angka relatif seperti itu, jelas bank kecil lebih baik daripada bank besar.
Namun, jika kembali pada permasalahan ke depan bahwa bisnis bank adalah persoalan skala, bank besar dengan ROA 1 % jelas lebih baik, laba absolut (nominal) yang dihasilkan oleh bank besar pasti jauh lebih besar daripada yang dihasilkan bank kecil. Laba yang besar mencerminkan kemampuan ekspansi kredit bank besar yang tinggi.
Hingga kini, aset perbankan masih didominasi oleh bank-bank papan atas yang didominasi oleh bank BUMN dan bank swasta nasional devisa. Bagaimana prospek bank kecil ke depan?. Kehidupan bank-bank kecil saat ini disinyalir tergantung pada nasabah yang memiliki hubungan dekat dengan para pengurus bank.Kondisi itu sulit diharapkan untuk dapat berkembang.
Melihat kodisi itu, apakah tidak lebih baik apabila bank kecil segera menentukan eksistensinya? Apakah meeka tetap bertahan sebagai bank umum dengan peta persaingan yang semakin hebat? Atau menurunkan skalanya menjadi bank pasar sehingga tidak akan menimbulkan risiko sistemik ketika bermasalah. Atau mereka mengizinkan investor asing segera mengambil-alih bank itu. Investor asing tentau berpikir seribu kali jika harus mendirikan sebuah bank baru dengan modal disetor sebesar Rp 3 triliun. Akan jauh lebih murah untuk membeli bank kecil, hanya mengeluarkan puluhan miliar rupiah, mereka akan menjadi pemegang saham mayoritas dan siap untuk menyuntikkan modal guna memperbesar skala bank tersebut . (*)
sumber: