Salah Paham Pemda dalam Pengelolaan Pelabuhan Laut

 

Kompas - EFORIA otonomi daerah membuat daerah berebut mengambil alih pengelolaan usaha-usaha yang menguntungkan yang saat ini dikelola oleh pemerintah pusat maupun badan usaha yang mendapat pelimpahan wewenang pengelolaan dari pemerintahan pusat. Tujuan utamanya bisa ditebak, tak lain adalah meningkatkan pendapatan asli daerah yang semenjak era otonomi menjadi indikator penting keberhasilan pemerintah daerah.

Pelabuhan laut harus dilihat bukan sebagai kepentingan daerah, tetapi harus dilihat secara makro sebagai kepentingan nasional. Mengapa? Pelabuhan sebagai pintu gerbang suatu daerah bukan hanya melayani pelayaran dalam negeri tetapi juga dari luar negeri. Itu sebabnya mengapa pengelola pelabuhan selain menjalani dan memenuhi peraturan pemerintah juga harus menjalani dan memenuhi standar peraturan internasional tentang pelayanan, pelabuhan, perkapalan, dan navigasi.

Maka untuk dapat melayani pelabuhan internasional, pengelola pelabuhan harus diakui keberadaannya oleh Asosiasi Pengelola Pelabuhan Internasional atau International Asociation of Ports and Harbours Authority (IAPH). Sedangkan untuk melayani pelayaran, pelabuhan dituntut memenuhi kinerja operasi sesuai persyaratan sehingga pelabuhan tersebut diakui oleh IAPH.

Bila tidak memenuhi persyaratan, maka pelabuhan tidak akan disinggahi oleh pelayaran yang saat ini telah saling beraliansi. Dunia pelayaran sekarang terdiri dari beberapa aliansi besar, ini untuk mengurangi pengeluaran mereka agar lebih dapat berkompetisi di dunia pelayaran.

Selain itu, peraturan keselamatan yang dikeluarkan International Maritime Organization (IMO), peraturan keamanan pelabuhan yaitu International Ship and Port Security (ISPS), dan peraturan navigasi yang dikeluarkan oleh International Association of Lighthouse Authorities (IALA) juga menghalangi operator pelabuhan baru untuk memenuhi hal-hal tersebut.

Pengambilalihan usaha pengelola pelabuhan menyebabkan keterasingan suatu pelabuhan dari pelayaran internasional. Pelabuhan tersebut menjadi pelabuhan yang hanya disinggahi oleh pelayaran tanpa jadwal yang hanya memberikan kontribusi kecil kepada pelabuhan.

Dengan begitu, harapan pemerintah daerah untuk memperoleh peningkatan pendapatan asli daerah tidak akan menjadi kenyataan. Bahkan, pelabuhan yang dikelola sendiri malah sangat mungkin menjadi cost center. Hal ini akan berdampak lebih lanjut berupa pelemahan dalam mengembangkan daerah karena infrastruktur menjadi tidak siap bersaing secara global.

Sedangkan pemerintah pusat saat ini tengah berusaha meningkatkan daya saing global negara. Peraturan-peraturan internasional yang melekat pada pelabuhan, kemampuan pemerintah daerah untuk menyediakan sumber daya manusia yang ahli dan terampil, dan sumber daya finansial untuk mengelola pelabuhan, maka diperlukan strategi lain dalam pengelolaan pelabuhan.

Solusi yang ditawarkan

Pemerintah daerah sebagai regulator tetap memberikan kewenangan kepada Pelindo sebagai pengelola pelabuhan karena Pelindo sebagai badan usaha milik negara memiliki kemampuan dan pengalaman untuk mengelola pelabuhan. Namun, agar pemerintah daerah bisa ikut memiliki, maka solusi yang ditawarkan adalah berupa kerja sama yang dibentuk dengan cara penempatan saham kepemilikan pemerintah daerah pada Kantor Pelindo setempat. Dengan demikian, pemerintah daerah mendapat agio dividen dari Pelindo setiap tahun sebagai pendapatan asli daerah.

Penempatan saham dapat berupa penempatan dana pemerintah daerah atau penempatan peralatan bongkar muat dan kapal tunda untuk dioperasikan oleh Pelindo sebagai penyertaan modal. Alternatif lain adalah pengelolaan parkir dan usaha jasa lain selain usaha pengelolaan kepelabuhan diserahkan kepada pemerintah daerah. Jadi, Pelindo hanya berkonsentrasi mengurus core business sebagai satu-satunya pengelola pelabuhan.

Untuk penempatan saham pemerintah daerah di perusahaan pengelola pelabuhan diperlukan political will dan political action pemerintah pusat untuk sharing pendapatan dari pelabuhan dengan pemerintah daerah karena hal ini berdampak luas, yang tidak hanya pada pemerintah daerah tetapi juga kepentingan nasional.

Hal ini dapat dianalogikan dengan pembagian pendapatan dari minyak dan gas bumi yang mana daerah juga diberi bagian dari pendapatan tersebut. Selain itu, dengan metode kebijakan ini maka akan tercipta sinergi antara pemerintah pusat dan daerah sehingga menambah daya saing pelabuhan di Indonesia di mana tidak ada tumpang tindih peraturan dan kewenangan dalam pengelolaan pelabuhan. Jadi pemerintah tetap sebagai regulator dan Pelindo sebagai operator pelabuhan.

Pola kerja sama ini dapat dilihat pada pelabuhan besar dunia bahwa pengelola pelabuhan adalah perusahaan khusus yang profesional dan mampu untuk membawa pelabuhan menjadi profit center yang mana perusahaan itu dimiliki oleh swasta, gabungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan perusahaan pelayaran.

Rahmat Kamaru Pemerhati Transportasi, Dosen Transportasi Laut pada Fakultas Teknologi Kelautan Universitas Darma Persada

sumber: