RUU Mineral dan Batubara Banyak Ditanyakan
Di dalam International Mineral Resources Symposium yang diselenggarakan oleh KOTRA (Korea Trade Agency) di COEX Inter-Continental Hotel, Korea Selatan, tanggal 28-29 Oktober 2008, banyak ditanyakan berbagai macam hal tentang pelaksanaan pertambangan di Indonesia pada saat dan sesudah paparan oleh Dr Ir Witoro S Soelarno, Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi. Pertanyaan tentang kapan dikelaurkannya RUU Mineral dan Batubara oleh Indonesia adalah yang terbanyak. Symposium tersebut dihadiri oleh 15 negara dari seluruh belahan Dunia, termasuk Indonesia, Australia, Argentina, Brazil, Zambia, dll. Peserta symposium khususnya adalah para investor dari Korea. Acara tersebut dihadiri eh sekitar 300 orang peserta. Setelah acara berlangsung dilanjutkan dengn business to business meeting, yang mempertemukan para negara-negara peserta dengan para investor Korea yang berminat menanam modal di negara tertentu.
Sebagaimana diketahui Korea Selatan adalah salah satu negara yang sangat agresif dalam mencari sumberdaya alam, khususnya energi dan mineral. Tidak kurang dari 90% kebutuhan energi Korea dan 80% kebutuhan mineral korea di datangkan dari luar negeri. Korea sangat mengincar investasi ataupun trading dengan negara-negara memiliki kekayaan sumberdya alam, termasuk Indonesia. Di sisi lain Korea sangat canggih dengan sistem pengolahan mineral sampai menjadi komoditi yang dibutuhkan, sperti tembaga, emas, perak, seng, baja, dll. Satu hal yang masih menjadi cita-cita bagi Indonesia.
Cita-cita untuk mengembangkan nilai tambah bahan tambang seperti termaktub dalam RUU Mineral dan Batubara disampaikan dalam berbagai kesempatan. Nampaknya minat Korea Selatan terutama di sisi mencari sumberdaya. Namun ke-depantentu saja mereka akan mempertimbangkan hal tersebut dengan melihat dari sisi kepentingan dan keuntungan bisnis. Sebagai perbandingan, Korea Selatan sebagai negara yang miskin sumberdaya alam termasuk mineral dan energi telah memulai upaya pembangunan smelter, refinery, dll yang diambil dari negara lain sejak tahun 1970-an. Alhasil Indonesia ketinggalan 30 tahun lebih. Sebagai contoh mereka memiliki LS-NIKKO, sebuah smelter dan refinery ke-dua terbesar dunia untuk tembaga, emas, perak serta mineral ikutan lainnya, yang bahan bakunya konsentrat tembaganya termasuk dari PT Freeport Indonesia (Edpraso, DJMBP).
sumber: