Rio Tinto dan Inco Berniat Tinggalkan Indonesia
Rio Tinto dan Inco Berniat Tinggalkan Indonesia
Suara Karya, 13 Januari 2005
"Ini diakibatkan kondisi iklim investasi di
Menurutnya, sebagaian besar perusahaan tembang yang ada di Indonesia akan mengalihkan investasinya ke beberapa negara lain seperti Malaysia, Vietnam, dan Filipina yang jauh lebih memberikan keleluasaan dalam berinvestasi.
Priyo juga mengkhawatirkan, perusahaan tambang besar lainnya seperti Newmont dan
Dia menjelaskan, Rio Tinto dan Inco tetap akan melanjutkan operasinya sesuai usia kontrak karya (KK) yang dimilikinya. Namun untuk melanjutkan pencarian mineral dengan menanamkan investasi baru, kedua perusahaan itu disinyalir sudah enggan. Rio Tinto sudah sejak 5 tahun lalu mengajukan KK di Lasamphala
Hal itu, katanya, tentu sangat ironis. Mengaingat potensi dan cadangan sumber daya mineral
Bahkan, menurutnya, dalam dua atau tiga tahun mendatang potensi kehilangan investasi itu akan lebih besar hingga tiga kali lipat, karena sejumlah perusahaan tambang multinasional, yang telah puluhan tahun beroperasi, berencana mengalihkan investasinya ke negara lain. "Nantinya ada perusahaaan besar yang tinggal menghabiskan kontraknya saja," katanya.
Sedangkan perusahaan-perusahaan besar lainnya akan beralih ke negara lain yang dinilai lebih menarik dan ada jaminan bagi investasinya. Ini semua terjadi karena pemerintah tidak mengakomodasi harapan para investor," ungkap Priyo.
Menurutnya, target investasi mineral 2006 sebagaimana dikemukakan oleh Dirjen Mineral, Batu bara, dan Panas Bumi adalah sebesar 900 juta dolar AS. Naik 100 juta dolar AS dibandingkan 2005. "Target ini sebetulnya terlalu kecil", ujar Priyo.
Kecilnya target investasi mineral di tahun 2006, menurut IMA, memperlihatkan bahwa pemerintah belum sungguh-sungguh untuk menarik investasi di sektor pertambangan. "Kalau saja pemerintah mau serius membenahi sektor pertambangan, kami yakin, investasi di sektor pertambangan bisa mencapai miliaran dolar AS", ujar Priyo.
Kuncinya, lanjut Priyo, adalah di undang-undang pertambangan (RUU Mineral dan Batu bara) yang saat ini tengah digodok oleh
Dengan sistem IUP, investor merasa tidak ada jaminan kepastian berusaha seperti dalam sistem kontrak karya. "Jika saja, sistem IUP yang digunakan dalam undang-undang yang baru, sudah bisa dipastikan Indonesia akan ketinggalan dari Vietnam, Laos, dan Filipina, yang saat ini membuka lebar bagi masuknya investasi di sektor pertambangan", kata Priyo.
Dikemukakan, di
Ditambah lagi, draf Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Mineral dan Batu Bara yang kini dalam proses pembahasan di DPR dinilai tidak berpihak pada investor, sehingga dikhawatirkan akan memperburuk iklim investasi sektor pertambangan.
"Kita mempertanyakan kepada pemerintah dan juga rakyat