Rio Tinto dan Inco Berniat Tinggalkan Indonesia

Rio Tinto dan Inco Berniat Tinggalkan Indonesia 

Suara Karya, 13 Januari 2005


JAKARTA (Suara Karya): Indonesia Mining Association (IMA) atau Asosiasi Pertambangan Indonesia mensinyalir akan adanya perusahaan-perusahaan tambang raksasa yang akan hengkang dari Indonesia. Di antaranya perusahaan itu yang berniat untuk mengalihkan investasinya ke negara lain adalah PT Inco dan Rio Tinto.

"Ini diakibatkan kondisi iklim investasi di Indonesia yang semakin tidak menjanjikan," kata Direktur Eksekutif IMA Priyo Pribadi Soemarno kepada wartawan, Kamis (12/1).

Menurutnya, sebagaian besar perusahaan tembang yang ada di Indonesia akan mengalihkan investasinya ke beberapa negara lain seperti Malaysia, Vietnam, dan Filipina yang jauh lebih memberikan keleluasaan dalam berinvestasi.

Priyo juga mengkhawatirkan, perusahaan tambang besar lainnya seperti Newmont dan Freeport bukan tidak mungkin akan melakukan hal yang sama seperti Rio Tinto dan Inco. "Apalagi saat ini Newmont dan Freeport selalu dipojokkan dengan masalah Kontrak Karya (KK) yang katanya sarat dengan korupsi," kata dia. IMA sendiri mendukung pemerintah untuk memberantas korupsi di sektor pertambangan, asal pemerintah mempunyai bukti yang jelas.

Dia menjelaskan, Rio Tinto dan Inco tetap akan melanjutkan operasinya sesuai usia kontrak karya (KK) yang dimilikinya. Namun untuk melanjutkan pencarian mineral dengan menanamkan investasi baru, kedua perusahaan itu disinyalir sudah enggan. Rio Tinto sudah sejak 5 tahun lalu mengajukan KK di Lasamphala Sulawesi, tetapi hingga kini belum juga ditanggapi pemerintah. Inco juga menunda investasi pengembangan Karebe, karena belum adanya kejelasan perizinan.

Hal itu, katanya, tentu sangat ironis. Mengaingat potensi dan cadangan sumber daya mineral Indonesia jauh lebih besar daripada negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Tapi, dari segi investasi dan pemanfaatannya, Indonesia tertinggal jauh. "Indonesia bakal kehilangan potensi masuknya investasi pertambangan senilai lebih dari 4 miliar dolar AS tahun ini," katanya.

Bahkan, menurutnya, dalam dua atau tiga tahun mendatang potensi kehilangan investasi itu akan lebih besar hingga tiga kali lipat, karena sejumlah perusahaan tambang multinasional, yang telah puluhan tahun beroperasi, berencana mengalihkan investasinya ke negara lain. "Nantinya ada perusahaaan besar yang tinggal menghabiskan kontraknya saja," katanya.

Sedangkan perusahaan-perusahaan besar lainnya akan beralih ke negara lain yang dinilai lebih menarik dan ada jaminan bagi investasinya. Ini semua terjadi karena pemerintah tidak mengakomodasi harapan para investor," ungkap Priyo.

Menurutnya, target investasi mineral 2006 sebagaimana dikemukakan oleh Dirjen Mineral, Batu bara, dan Panas Bumi adalah sebesar 900 juta dolar AS. Naik 100 juta dolar AS dibandingkan 2005. "Target ini sebetulnya terlalu kecil", ujar Priyo.

Kecilnya target investasi mineral di tahun 2006, menurut IMA, memperlihatkan bahwa pemerintah belum sungguh-sungguh untuk menarik investasi di sektor pertambangan. "Kalau saja pemerintah mau serius membenahi sektor pertambangan, kami yakin, investasi di sektor pertambangan bisa mencapai miliaran dolar AS", ujar Priyo.

Kuncinya, lanjut Priyo, adalah di undang-undang pertambangan (RUU Mineral dan Batu bara) yang saat ini tengah digodok oleh DPR RI. "Bagi investor, sistem kontrak karya adalah yang terbaik. Kalau diganti menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP), dalam perkiraan IMA, di tahun-tahun mendatang, investor tidak akan ada yang datang ke Indonesia. IUP tidak investor friendly", jelas Priyo.

Dengan sistem IUP, investor merasa tidak ada jaminan kepastian berusaha seperti dalam sistem kontrak karya. "Jika saja, sistem IUP yang digunakan dalam undang-undang yang baru, sudah bisa dipastikan Indonesia akan ketinggalan dari Vietnam, Laos, dan Filipina, yang saat ini membuka lebar bagi masuknya investasi di sektor pertambangan", kata Priyo.

Dikemukakan, di Indonesia akibat banyaknya hambatan terutama masalah tumpang tindih kebijakan dengan sektor lain dan ketidakjelasan aturan antara pemerintah pusat dan daerah, sektor pertambangan Indonesia kini semakin mendekati kehancuran.

Ditambah lagi, draf Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Mineral dan Batu Bara yang kini dalam proses pembahasan di DPR dinilai tidak berpihak pada investor, sehingga dikhawatirkan akan memperburuk iklim investasi sektor pertambangan.

"Kita mempertanyakan kepada pemerintah dan juga rakyat Indonesia, apakah industri pertambangan tidak diperlukan lagi untuk menopang perekonomian nasional. Padahal, kita memiliki potensi sumber daya mineral yang bagus. Jika ini tidak diolah dengan benar tentu tidak akan bisa dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat," ujarnya.

Menurutnya, selama lebih dari lima tahun pemerintah hanya berkutat dengan masalah undang-undang. "Sementara Vietnam sudah mampu menarik investasi sangat besar di sektor pertambangan. Jika pemerintah tidak segera membenahi kondisi yang terus memburuk ini investasi-investasi besar akan lari ke negara lain,\'\' kata Priyo.

sumber: