Perajin Membantah Perak Bisa Akibatkan Minamata

 

SUARA PEMBAHARUAN - YOGYAKARTA - Ketua Kelompok Koperasi Perajin Perak, Sutojo MU, menolak kalau industri perak di Kotagede Yogyakarta dituding sebagai penyebab pencemaran lingkungan. Kerajinan perak, menurutnya, sudah berjalan ratusan tahun atau sejak abad 16. Namun hingga saat ini, tidak ada keluhan apa pun.

Pernyataan itu disampaikan Sutojo menjawab hasil penelitian Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Yogya dan UGM, yang menyatakan wilayah Kotagede terancam penyakit Minamata. "Limbah itu memang ada, tetapi jumlahnya sedikit dan kami menolak jika dikatakan industri perak sebagai ancaman minamata," katanya pekan lalu di Kotagede.

Meski demikian, Sutojo mengakui, pencemaran tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh electro fighting yang dipergunakan untuk menyepuh perak. Bahan ini, katanya, mengandung bahan baku berupa apotas dan memang memiliki kandungan merkuri. "Saat ini ada sekitar 30 industri penyepuhan perak. Sedang perajin perak yang masuk koperasi saat ini tinggal ada 108 orang. Kemungkinan pencemaran memang ada, terutama dari penyepuhan perak," katanya.

Dikatakan, hampir semua indutri perak baik perajin maupun penyepuh saat ini belum memiliki pengolahan limbah yang memadai. Sebab sebagian besar perajin kondisi kritis.

"Kalau ini memang dianggap permasalahan, pemerintahlah yang seharusnya turun langsung dengan membuat tempat pengolahan limbah. Kalau kita disuruh mendiirikan jelas tidak mampu," tegasnya.

Sementara itu, Kasie Pemulihan, Pengawasan dan Evaluasi Kantor Penanggulangan Dampak Lingkungan Kota Yogya, Peter Lawua Asal menegaskan, berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap perusahaan perak yang ada di Kotagede, sebagian besar tidak memiliki pengolahan limbah.

"Limbah-limbah yang dihasilkan langsung dibuang melalui septitank, padahal septitank yang ada di wilayah tersebut tidak kedap air," kata Peter kepada wartawan di Balai Kota, Jumat.

Menurutnya, limbah yang dihasilkan dari perusahaan itu mengandung air raksa dan Mercuri. "Setelah kita lakukan penelitian pada tahun 2001 yang lalu, kandungan air raksa dan mercuri itu sudah melewati ambang batas yang ditentukan," katanya.

Septitank yang ada di wilayah tersebut, kata Peter airnya merembes ke sumur-sumur yang ada di perkampungan penduduk. Hasil penelitian itu kata dia sudah dipresentasikan kepada pihak-pihak yang berkompeten. Selain ke pengusahanya sendiri, hasil penelitian itu juga sudah disampaikan ke pihak kelurahan dan kecamatan. "Namun hingga saat ini belum ada respon dari beberapa pihak terkait," ujarnya.

Diprediksikan, tahun 2010 hingga 2014 akibat itu baru akan muncul. Menurut Peter, permasalahan tersebut harus segera ditangani. "Perusahaan perak kalau bisa bekerjasama punya tanki khusus untuk dibawa ke daerah Cileungsi Bogor untuk pengolahan limbah dari pada mereka buang terus menerus, karena suatu saat akan jadi bom waktu bagaimanpun saat ini akibatnya belum terasa," tegasnya.

sumber: