Pengembangan Energi Alternatif Menemukan Gairahnya

Pengembangan Energi Alternatif Menemukan Gairahnya

Suara pembaruan, 25 November 2005

Setiap persoalan harga bahan bakar minyak (BBM) mencuat, setiap itu pula gagasan penggunaan energi alternatif ramai diperbincangkan. Namun dimasa lalu, gagasan itu selalu berhenti di tingkat wacana karena minimnya minat swasta untuk mengembangkannya menjadi berskala industri. Berbagai energi alternatif yang dikembangkan para peneliti, dinilai tidak ekonomis karena saat itu harga BBM (bersubsidi) jauh lebih murah.

Pembaruan/Jurnasyanto Sukarno

KOMPOR BRIKET BATU BARA - Seorang koki menyiapkan makanan yang dimasak dengan kompor berbahan bakar briket batu bara, pada pencanangan sosialisasi briket dan biobriket batu bara, di Jakarta, Rabu (26/10). Kompor jenis ini biasanya digunakan untuk industri kecil.

KINI, dengan subsidi yang makin mengecil, harga BBM tak lagi murah. Pengembangan energi alternatif pun seperti menemukan kembali gairahnya. Salah satu yang cukup serius dikembangkan adalah penggunaan briket batu bara sebagai pengganti minyak tanah.

Tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang antusias mendorong penggunaan briket batu bara. Ditargetkan tahun 2008 nanti, produksi briket batu bara untuk kebutuhan dalam negeri sudah mencapai satu juta ton per tahun.

Sementara Wakil Presiden Yusuf Kalla berjanji untuk membelanjakan Rp 150 miliar guna pembelian 10 juta tungku briket batu bara yang akan dibagikan kepada penduduk miskin sebagai alat masak.

Berbagai inovasi pun terus dikembangkan agar penggunaan briket batu bara bisa lebih diterima masyarakat, bukan hanya dari sisi kepraktisan namun juga harus aman dari sisi kesehatan.

Menurut salah seorang eksportir briket batu bara, Hartono Wibowo, masyarakat tidak perlu khawatir dengan briket batu bara. Dengan teknik karbonisasi, kandungan tar yang berbahaya bagi kesehatan bisa dihilangkan sehingga emisi gas buang yang mengandung zat berbahaya menjadi nol.

Saat ini, harga briket batu bara jenis karbonisasi sekitar Rp 1.500 per kg, sedangkan nonkarbonisasi hanya Rp 900 per kg. Untuk briket batu bara karbonisasi saja, masih jauh lebih ekonomis dibandingkan menggunakan minyak tanah dengan harga eceran saat ini mencapai Rp 2.800/liter.

"Nilai efisiensinya mencapai 100 persen. Artinya, penggunakan briket batu bara 50 persen lebih murah dibandingkan minyak tanah," papar pria yang mengekspor 1.000 ton briket batu bara setiap bulannya.

Berdasarkan pengalaman Hartono, satu kilogram briket batu bara bisa untuk memasak selama tiga jam. Dengan harga briket jenis karbonisasi Rp 1.500/kg berarti untuk memasak selama tiga jam biaya yang dikeluarkan hanya Rp 1.500. Sedangkan minyak tanah, untuk jangka waktu yang sama dibutuhkan sebanyak dua liter atau setara dengan Rp 5.600.

Kompor

Lantas, bagaimana dengan kompor briket batu bara? Sarjimin seorang pengusaha briket batu bara asal Yogyakarta mengatakan, kompor yang digunakan didesain khusus. Sebab panas bara batu bara setara dengan panas kompor gas.

Dengan standar panas tersebut, otomatis memasak bisa jauh lebih cepat dari kompor (minyak tanah) biasa sehingga kompor yang digunakan didesain agar tahan terhadap panas bara.

Selama ini, Sarjimin menggunakan tiga unsur, seperti seng untuk tubuhnya, besi cor untuk angkringan dan penahan bagian bawah. Sementara batu tahan api diletakkan di lapis dalam untuk menahan panas. Biji-biji briket hanya ditumpuk miring sesuai kebutuhan, lalu dibakar dari bawah sampai berujud bara.

"Sebetulnya sih bisa menggunakan anglo tanah liat, tapi cepat ambrol,"
ujarnya.

Namun kini, ia mengaku sudah menemukan tanah yang tahan terhadap panas bara, yakni tanah liat dari Rembang Jawa Tengah. Sarjimin mengaku sudah melakukan uji coba kompor tanah liat tersebut.

Kini, dia sudah memesan kompor tanah liat dari Rembang sebanyak 200 unit. "Ini sudah saya buktikan. Selama setahun ini, kompor tanah liat itu masih tahan," ujar Sarjimin.

Sedangkan Hartono menawarkan kompor yang jauh lebih murah, yaitu dari kaleng bekas setebal 5 mm yang kemudian dilapisi semen setebal 5 cm. "Kompor berbahan kaleng bekas itu sudah dibuktikan cukup tahan digunakan sebagai kompor briket batu bara," ujar Hartono.

Biaya pembuatannya pun cukup murah, yakni hanya Rp 15.000 hingga Rp 20.000 per buah.

Risiko

Sementara itu, pegiatan lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Igor O\'Neill menyayangkan rencana penggunaan briket batu bara secara besar-besaran karena berisiko bagi kesehatan. Dengan mengutif WHO, menurut Igor, memasak dengan bahan bakar padat di ruangan bisa mengakibatkan kematian dini melalui infkesi pernapasan.

Di Indonesia, rata-rata dapur didesain tanpa cerobong untuk saluran pembuangan asap. Selain itu, ventilasi pun umumnya sangat minim sehingga sirkulasi udara sangat minim.

Akibatnya, penggunaan briket batu bara bisa menyebabkan kanker paru, kanker tenggorokan, hingga penyakit pernapasan kronis lainnya, seperti bronchitis dan emfisema.

"Semua itu sudah terbukti di Cina dengan sampel penelitian pada sekitar 3.000 penduduk pengguna briket batu bara," katanya.

Oleh karena itu, Igor melihat keputusan pemerintah untuk menggenjot penggunaan briket batu bara sebagai sebuah keputusan terburu-buru.

Sementara itu, Kepala Balai Besar Teknologi Energi BPPT, Dr Agus Rusyana Hoetman menyarankan agar masyarakat diedukasi agar membuat ventilasi udara yang cukup jika ingin menggunakan briket batubara. "Dengan ventilasi yang cukup, emisi gas buang (karbonmonoksida) yang dihasilkan kompor itu bisa langsung ke luar rumah," katanya.

Berdasarkan penelitian BPPT, ungkapnya, briket batu bara berjenis tanpa karbonisasi (tidak melalui proses karbonisasi), menghasilkan asap yang lebih sedikit daripada batu bara berjenis karbonisasi atau kompor minyak tanah, namun asapnya tetap berbahaya bagi kesehatan manusia.

Dia menjelaskan, kompor minyak tanah menghasilkan emisi karbonmonoksida antara 200 - 300 ppm, sedangkan kompor briket batu bara tanpa karbonisasi hanya menghasilkan emisi karbonmonoksida sekitar 100 ppm.

"Tapi demi kesehatan, sebaiknya asap yang dihasilkan dari proses pembakaran briket batu bara tidak sampai terhisap oleh manusia. Sejauh ini, briket batu bara jenis unkarbonisasi seperti yang telah kami kembangkan, cukup aman bagi kesehatan manusia. Meski begitu bagi rumah yang memiliki desain dapur tertutup, tidak saya sarankan penggunaan kompor ini," paparnya.

Oleh karenanya, Kepala Sub Bidang Pengolahan dan Karakterisasi Bahan Bakar Bidang Fosil B2TE BPPT, Ir Herman Hidayat MSc, menganggap penggunaan briket batu bara lebih efektif jika digunakan di industri kecil, seperti pabrik tahu atau tempe serta industri sangat kecil seperti warung tegal. Sedangkan untuk kalangan rumah tangga sebaiknya terlebih dahulu disosialisasikan mengenai manajemen masak di dapur yang baik agar efisien, jelasnya.

Hal itu mengingat untuk menyalakan briket batu bara membutuhkan waktu cukup lama. Untuk briket batu bara jenis unkarbonisasi tipe sarang tawon dan tipe telur, seperti yang dikembangkan B2TE, membutuhkan waktu sekitar 5-10 menit.

"Itu pun sebelumnya salah satu batu bara yang akan dibakar sebaiknya dicelupkan dulu ke minyak tanah. Sedangkan briket batu bara yang kualitasnya kurang bagus butuh waktu sekitar 45 menit," ujarnya.

Nah, konsumen tinggal memilih mana yang lebih aman dan ekonomis.

sumber: