Merkuri Di Buyat, Dari Mana Asalnya?
Suara Karya - Kasus dugaan pencemaran merkuri dan arsen di Teluk Buyat seolah tak berujung. Dari mana logam berat itu berasal?
Hingga saat ini memang belum ada pihak yang tahu secara pasti asal mercuri, termasuk arsen, yang menyebabkan perairan di Teluk Buyat, Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara tercemar. Parah lagi, menurut beberapa LSM.
Sebagaimana banyak pihak tahu, sejak 1996 sebuah perusahaan tambang emas berskala multinasional membuka areal pertambangan di sekitar Ratatotok. PT Newmont Minahasa Raya, nama perusahaan itu yang 80 % kepemilikan sahamnya dikuasai Newmont Corp--sisanya oleh PT Tanjung Serapung, perusahaan Indonesia--dituding telah melakukan pencemaran di perairan teluk tersebut.
Perusahaan tersebut telah menghasilkan sedikitnya 4,78 ton biji emas sejak berproduksi tahun 1996 hingga penutupan tambang pada 31 Agustus 2004 lalu. Bayangkan, berapa tailings yang telah dihasilkan. Karena itu, tak aneh kalau kemudian tuduhan pencemaran dilayangkan sejumlah LSM kepada perusahaan itu. Kadar merkuri dan arsen diperairan itu, seperti analisa LSM, telah meningkat di ambang batas.
Tuduhan itu, menurut beberapa pengamat, tampak aneh karena perusahaan berbasis di AS itu sama sekali tidak menggunakan merkuri dalam proses produksi untuk menghasilkan bijih emas, kecuali sianida. Sianida digunakan guna memilah emas dari mineral lainnya yang terkandung dalam batuan. Kalau pun terdapat merkuri, menurut NMR, merkuri itu adalah sinabar, yakni merkuri yang sudah terikat dengan sulphur sehingga sangat stabil dan tidak berbahaya bagi manusia dan biodata laut.
Melalui sebuah teknologi yang andal, sianida dan merkuri itu diamankan dan dinetralkan, kemudian disimpan untuk selanjutnya dikirim ke Fasilitas Limbah Berbahaya di Jakarta dan Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI) di Cileungsi, Bogor. Dengan begitu, tailings yang berasal dari enam lubang sebanyak 2.000 ton per hari, atau 4 juta ton sejak berproduksi hingga penutupan, yang ditempatkan NMR di kedalaman 82 meter di Teluk Buyat melalui pipa sepanjang 10 km, adalah aman untuk lingkungan perairan itu, baik bagi biota laut maupun air laut. Setidaknya, ini menurut NMR.
Namun demikian, beberapa hasil penelitian yang boleh jadi keabsahannya masih dipertanyakan, menyimpulkan perairan Buyat sudah tercemar oleh logam berat merkuri dan arsen. Pipa pembuangan tailings NMR tepat berada pada perairan tersebut. Namun, NMR bersikukuh bukan pelaku pencemaran.
Perusahaan itu telah mempertontonkan berbagai bukti, mulai dari hasil survei internal terhadap lingkungan di sekitar Teluk Buyat hingga penelitian independen. Namun, semua itu seolah tidak ada artinya ketika Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri, melalui hasil penelitiannya, menunjukkan telah terjadi pencemaran di perairan Teluk Buyat.
Hasil Survei Puslabfor Mabes Polri tentu saja mengejutkan banyak pihak, khususnya para pelaku pertambangan. "Banyak parameter dan metoda yang bisa digunakan untuk mengukur baku mutu air maupun kandungan merkuri dalam ikan. Hasilnya pun bisa berbeda-beda" ujar Wira Budi, senior manager eksternal affairs PT Newmont Pacific Nusantara.
Mengapa kasus pencemaran ini baru terungkap menjelang NMR mengakhiri penambangannya di Minahasa, tidak banyak kalangan yang tahu alasannya. Padahal, sejak tahun 2000 sejumlah LSM telah mencoba membawa kasus ini ke publik, namun tak kunjung mendapat tanggapan serius pemerintah. "Mungkin saja mereka (Masyarakat dan pihak terkait--Red) berharap mendapatkan sesuatu sebelum perusahaan ini pergi," ujar BN Wahyu, Ketua Umum Indonesian Mining Association (IMA).
Ironisnya, penambangan tradisional yang berada di Teluk Ratatotok--bersebelahan dengan Teluk Buyat---nampaknya tidak terlalu diusik. Padahal hasil penelitian Puslabfor Mabes Polri menunjukkan, para penambang tradisional ini juga disangkakan sebagai pelaku pencemaran di Teluk Ratatotok.
Berdasarkan hasil penelitian Puslabfor Mabes Polri, konsentrasi merkuri di Teluk Buyat Berkisar antara 2,030 - 9,801 mg/l. Sesuai dengan baku mutu air laut yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, konsentrasi tersebut telah jauh melampaui ambang batas. Berdasarkan keputusan itu, baku mutu merkuri air laut adalah 1 mg/l. Sedangkan baku mutu arsen 12 mikrogram/liter. Di Teluk Ratatotok, tempat pembuangan limbah penambang tradisional, konsentrasi merkuri antara 2,428 - 7,086 mg/l.
Sementara itu, kandungan arsen dari sembilan sampel air laut di Teluk Buyat, empat sample di antaranya melebihi ambang batas, yakni antara 12,4328 - 50,7028 mg/l. Di Ratatotok, dari tiga sample yang diambil hanya satu sample yang kandungan arsennya melebihi ambang batas, uakni 17,433 mg/l.
Puslabfor juga meneliti empat sampel ikan yang ditangkap di Teluk Buyatm yakni ikan kerapu merah dengan kandungan merkuri 0,02078 mg/l dan arsen 0,5435 mg/l. Ikan kerapu macan mengandung merkuri 0,0157 mg/l. Ikan napoleon mengandung merkuri 0,0275 mg/l, dan gurita mengandung merkuri sebanyak 0,01164 mg/l.
Kepala Badan Reserse Dan Kriminal Mabes Polri, Komjen Suyitno Landung mengatakan, kalau didasarkan pada Keputusan Menteri LH dan PP No 82 tahun 2001, jelas telah terjadi pencemaran air laut dan air sungai. Namun, Suyitno mengaku pihaknya kesulitan menentukan apakah kandungan merkuri dan arsen dalam tubuh biota laut dan tubuh manusia telah di atas baku mutu. Pasalnya, sampai saat ini belum ada standarnya. "Memang ada batasan dari WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia). Tetapi itu tidak bisa kita gunakan untuk proses penyidikan. Kita hanya bisa menggunakan hukum nasional," katanya.
Suyitno mengatakan, pihaknya masih memerlukan keterangan saksi ahli di bidang toksikologi dan oseanologi. "Jika memang disimpulkan terjadi pencemaran yang berdampak pada biota dan tubuh manusia, proses akan dilanjutkan ke penyidikan untuk mengungkap pelaku pencemaran," katanya menambahkan.
Sementara itu, pakar mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Amin Subandrio mengemukakan, terlalu prematur jika dikatakan ada pencemaran yang melebihi ambang batas. Menurut Amin, hasil analisis tidak dapat berdiri sendiri. Apalagi jika hanya diperiksa pada satu waktu tertentu saja. "Kalau ditemukan lagi hal yang sama dalam waktu lain, baru bisa dikatakan daerah itu secara kronis tinggipencemarannya," katanya.
Amin juga mengemukakan, hal itu pun belum cukup untuk menyimpulkan pencemaran. Pasalnya, zat-zat seperti itu dapat berpindah ke tempat lain ketika menguap dibawa awan dan jatuh bersama hujan. Sehingga menurut kesimpulan Amin, Polri masih terlalu dini untuk menyatakan bahwa di Teluk Buyat telah terjadi pencemaran yang melebihi ambang batas.
Sementara itu, hasil peer review Kementerian Lingkungan Hidup baru-baru ini sampai pada kesimpulan bahwa NMR telah melakukan pencemaran di Teluk Buyat. Kesimpulan ini diambil setelah dilakukan pendalaman atas berbagai survei tentang lingkungan di Teluk Buyat. Karena itu, Kementerian LH mengeluarkan rekomendasi agar NMR melakukan pemulihan kembali daerah ini selama 30 tahun.
Sudah Teruji
Benarkah NMR telah melakukan tindak pencemaran di Teluk Buyat seperti disangkakan itu? Ketua Umum IMA yang juga geologis, BN Wahyu, mengatakan, perusahaan yang mengadopsi teknologi submarine tailing disposal (STD) dari Rescan Environmental Services Ltd, tidak melakukan pencemaran di teluk tersebut. Pasalnya, teknologi yang digunakan NMR itu sudah teruji di berbagai negara.
Selain itu, dalam proses pemilihan bijian emas dari mineral lainnya - emas pada diposit messel (lokasi penambangan NMR) terdapat pada batuan gamping - NMR tidak memakai metal merkuri. Bahan kimia itu justru banyak dipakai oleh para penambang tradisional di Teluk Ratatotok. Metal merkuri adalah bahan yang sangat berbahaya bila terhisap atau masuk ke dalam tubuh manusia. Manusia yang memakannya- bisa termakan melalui proses mata rantai makanan - bisa sakit hingga menimbulkan kematian.
Metal merkuri setelah melalui proses "trommol" (alat yang digunakan penambang tradisioanl untuk memilah emas dari mineral lainnya) kemudian masuk ke sungai atau laut. Dan, melalui proses mikrobiologi membentuk metil merkuri yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia yang memakannya. "Yang menjadi masalah bukanlah merkuri yang sudah stabil di alam, namun merkuri dalam bentuk ikatan organik yaitu metil merkuri yang dibentuk setelah dipakai (dalam bentuk metal merkuri) untuk proses amalgamasi," kata BN Wahyu.
Siapa yang menghasilkan metil merkuri? Yang pasti, sekali lagi, metalik merkuri tidak dipakai oleh NMR. Bahan kimia itu banyak dipakai oleh rakyat penambang setempat. "Jadi, kita harus lihat dulu pentingnya menelusuri jalur ini," kata Wahyu. Dia juga memberikan bukti lain dengan mengutip Journal of Geochemical Exploration - 1994 bahwa dalam tiga tahun sekitar 5-10 ton metal merkuri turun ke laut dari kegiatan romol tromol yang diusahakan pertambangan rakyat di Sulawesi Utara, baik yang resmi maupun tanpa izin.
Dalam suatu acara yang diselenggarakan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), salah seorang peserta mengungkapkan, belakangan muncul kecenderungan para penambang tradisional di Provinsi Gorontalo membawa hasil talingsnya ke Manado untuk dikelola. Di sini sianida digunakan. Ke mana limbah itu kemudian dibuang, peserta itu mengaku tidak tahu.
Meningkatnya kandungan merkuri dan arsen di Teluk Buyat diduga juga sebagai akumulasi dari kegiatan pertambangan yang sudah ada di lokasi itu sejak abad XVIII. Di wilayah Ratatotok, kegiatan penambangan sudah ada sejak tahun 1850. Kegiatan pertambangan ketika itu dilakukan oleh masyarakat lokal yang berasal dari Bolaang Monondow. Pemerintah Kolonila Belanda mulai melakukan penambangan di lokasi itu sekitar tahun 1898, berjalan bersama-sama dengan pertambangan rakyat.
"Jadi saya simpulkan, apa yang terjadi sekarang merupakan akumulasi dari kegiatan yang sudah berlangsung lama. Sebab, proses kimia berubahnya metal merkuri menjadi metilmerkuri sebenarnya cukup lama. Perubahan itu tergantung dari lingkungan sekitar, sinar matahari dan unsur lainnya," kata BN Wahyu yang juga Presdir Ingold Management.
Dugaan terjadinya pencemaran di Perairan Sulawesi Utara bukanlah cerita baru. Akibat kandungan merkuri sangat tinggi dalam tubuh udang, pemerintah Jepang telah menghentikan ekspor udang dari wilayah itu. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1990, jauh sebelum NMR berproduksi. Di daerah itu pada waktu itu memang terlihat banyak penambang liar menggunakan tromol-tromol yang memakai merkuri.