Menyoal rencana merger Freeport

 

Bisnis, 4 Mei 2004 - A mine is a hole in the ground owned by a liar. Suatu hal yang menarik ketika penulis AS Mark Twain dalam salah satu karyanya berjudul Roughing It yang terbit 181 tahun lalu, mendefinisikan tambang dengan kalimat yang sedikit sarkastik.

Diakui atau tidak, tambang dilihat dari segala sisi seperti teknik, lingkungan, proses produksi, atau bahkan pergulatan politik yang timbul memang cukup menarik dibahas. Apa yang terjadi di sektor itu mampu menimbulkan dua sikap berbeda dalam satu waktu, yakni sikap mendukung sekaligus cibiran.

Di Indonesia masalah di sektor pertambangan sangatlah beragam. Salah satunya terjadi ketika pada 31 Januari 2004, perusahaan tambang asal Amerika yang beroperasi di Papua, PT Freeport Indonesia meminta izin kepada pemerintah atas rencana merger Freeport McMoran Copper & Gold Corp (FCX)-sebagai pemegang saham mayoritas di PT Freeport Indonesia--dengan PT Indocopper Investama (PT II).

Kepemilikan saham PT Freeport Indonesia saat ini terdiri dari Pemerintah Indonesia (9,36%), PT II (9,36%), dan FCX (81,28%). Izin kepada pemerintah dilakukan perusahaan sesuai dengan Pasal 16 dalam Kontrak Karya (KK) antara Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia.

Dalam pasal itu disebutkan ada lima hal yang harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah, salah satunya adalah yang tercantum dalam ayat IV tentang bergabung atau mengonsolidasikan perusahaan dengan perusahaan lain.

Oleh pemerintah, dalam hal ini departemen teknis yakni Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, melalui Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral melayangkan surat kepada Freeport untuk menyampaikan terlebih dahulu hasil persetujuan RUPS atas merger guna mendapatkan persetujuan para pemegang sahamnya.

Surat pemerintah tersebut ditindaklanjuti perusahaan dengan dilakukannya RUPSLB (rapat umum pemegang saham luar biasa) pada 13 April 2004. Hasil dari RUPSLB disepakati rencana merger FCX dengan PT II disetujui oleh para pemegang sahamnya melalui RUPSLB.

Sehari kemudian, para pemegang saham yang terdiri dari Deputi Menteri Negara BUMN bidang Pertambangan, Industri Strategis, Energi, dan Telekomunikasi Roes Aryawijaya (mewakili pemerintah), Direktur PT II Dicky R. Moningka dan Rini G. Ranty, dan Attorney in Fact dari FCX Ernest G. Tehuteru menandatangani persetujuan tertulis para pemegang saham atas rencana merger FCX dengan PT II.

Hasil dari RUPSLB itu pada 15 April 2004 dilaporkan secara tertulis oleh Presdir PT Freeport Indonesia Adrianto Machribie kepada Dirjen GSDM dengan surat bernomor 040/12/2004.

Lakukan kajian

Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral Simon Felix Sembiring mengatakan bahwa sejak diterimanya surat pemberitahuan persetujuan merger FCX dengan PT II dari para pemegang saham, maka pemerintah akan melakukan kajian normalnya selama tiga bulan sebelum memberikan keputusan mengizinkan atau tidaknya rencana tersebut.

Menurut dia, pemerintah mempunyai hak untuk mengizinkan ataupun menolak terhadap rencana tersebut. Dia mengatakan pemerintah dapat saja memberikan izin rencana merger itu, tetapi dengan sejumlah persyaratan tertentu kepada Freeport.

Rencana merger FCX dengan PT II ini kemudian berkembang menjadi masalah karena saham yang dimiliki PT II sebesar 9,36% adalah saham yang dahulu sudah dimiliki oleh nasional.

Jika rencana merger FCX dengan PT II ini disetujui, maka pemerintah dapat dikatakan menjilat ludah sendiri. Di mana dulu, 9,36% saham sudah diberikan ke Indonesia, namun kemudian dibeli kembali oleh perusahaan asing. Sayangnya buyback saham ini tidak dikenal dan tidak diatur dalam KK.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro mengatakan pemerintah menginginkan supaya pengalihan saham dilakukan kepada peserta Indonesia.

Menurut dia, pengalihan saham tersebut sesuai dengan nafas otonomi daerah dan pada prinsipnya bertujuan meningkatkan peran daerah dan kepemilikan nasional.

Oleh sebab itu, kata orang nomor satu di Departemen ESDM tersebut, PT Freeport wajib melakukan divestasi saham. Saat ini, katanya, tim dari pemerintah masih melakukan kajian atas izin rencana merger Freeport dengan Indocopper itu.

Permasalahan rencana merger ini pada akhirnya memang merembet pada masalah kewajiban divestasi saham PT Freeport Indonesia.

Sumber Bisnis menjelaskan ketika pemerintah memberikan persetujuan perpanjangan kontrak Freeport di Indonesia, disyaratkan bahwa perusahaan tersebut tetap diwajibkan melakukan divestasi.

Menurut dia, rencana merger tersebut membuat FCX memiliki saham sebesar 90,64%. Dengan 81.28% saja, katanya, FCX sudah memiliki saham mayoritas. Dia mempertanyakan mengapa tidak ada niat baik dari Freeport untuk mendivestasikan saham yang hanya 9,36% kepada peserta Indonesia yang diutamakan ke Pemprov Papua.

Menurut sumber tadi, seharusnya pemerintah mengkaji pemberian izin rencana merger. Yang penting, lanjutnya, Freeport harus diberi syarat untuk menjual kembali 9,36% saham dengan harga yang sama saat pembelian saham itu kepada peserta Indonesia, terutama Pemprov Papua.

Berkaitan dengan masalah tersebut, susunan pemegang saham PT Freeport Indonesia awalnya terdiri dari FCX (80%), Pemerintah Indonesia (10%), dan International Copper Investment Company Incooporated (10%).

Setelah itu terjadi perubahan mendasar dengan dialihkannya saham milik ICIC ke PT Indocopper Investama Corp (IIC) milik Bakrie Group yang kemudian saham IIC dibeli oleh ke PT Nusamba.

Di samping itu, juga terjadi peningkatan modal dari PT Freeport yang menyebabkan saham pemerintah dan (IIC/ PT II) berkurang menjadi 9,36%. Hal ini terjadi karena baik Pemerintah RI melalui Departemen Keuangan dan IIC menyatakan tidak bersedia berpartisipasi dalam peningkatan modal, sehingga terjadilah dilusi saham tersebut.

Bisa memilih

Berkatian dengan masalah divestasi, Dirjen GESDM Simon Felix Sembiring menjelaskan PT Freeport tidak perlu melakukan divestasi lagi. Menurut dia, dalam KK PT Freeport Indonesia disebutkan bahwa perusahaan dapat memilih peraturan divestasi yang lebih meringankan jika nantinya ada peraturan baru yang diundangkan.

Masalah itu tertuang dalam KK PT Freeport di pasal 24 tentang Promosi Kepentingan Nasional ayat 2 (d). Simon mengatakan peraturan yang meringankan PT Freeport adalah Peraturan Pemerintah No. 20/1994 tentang Pemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing.

PP No. 20/1994 pasal 2 (1) (a) menyebutkan patungan antara modal asing dengan modal yang dimiliki Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia, atau, (b) langsung, dalam arti seluruh modalnya dimiliki oleh warga negara dan atau badan hukum asing.Namun demikian jika, dicermati KK Freeport, pada pasal 24 ayat b tentang Promosi Kepentingan Nasional disebutkan paling lambat setelah ulang tahun ke-20 dari tanggal ditandatanganinya KK, divestasi perusahaan itu harus sudah mencapai 51% dari modal saham yang diterbitkan, atau mencapai 45% jika sekurang-kurangnya 20% dari modal saham yang diterbitkan dijual di Bursa Efek Jakarta.

Timbul dua hal bertentangan satu dengan yang lainnya. Apakah benar PP No. 20/1994 merupakan peraturan yang meringankan sehingga Freeport tidak perlu melakukan kewajiban divestasinya?

Pengamat hukum pertambangan T.A. Nurwinakun dalam tulisannya (Bisnis, 8 Maret 2000) menyebutkan PP No. 20/1994 tidak dapat diberlakuan bagi PMA di sektor pertambangan.

Menurut dia, pada PP No. 20/1994 pasal 5 (1) jelas disebutkan bahwa perusahaan yang didirikan sebagaimana dimaksud pada pasal 2 (1) (a) dapat dilakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hidup rakyat banyak yaitu pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkit tenaga atom, dan media massa.

Selain itu, Nurwinakun menjelaskan Freeport sebagai PMA patungan tidak dapat memakai ketentuan pasal 2 (1) (b) dari PP No. 20/1994 yang membolehkan kepemilikan saham 100% asing, sebagai dasar membebaskan dari kewajiban divestasi.

Prinsip divestasi saham dilakukan dengan tujuan, sekali saham dialihkan ke pihak nasional, maka pengalihan atau penjualan saham selanjutnya harus dilakukan kepada pihak nasional lainnya dan bukan pada pihak asing.

Prinsip divestasi ini bahkan juga diatur oleh PP No. 20/1994 di pasal 6 (1) dan (2). Yang terpenting, kata Nurwinakun, adalah pasal 33 UUD 1945 tegas menyatakan negaralah sebagai penguasa atas sumber daya alam.

Bola panas saat ini berada di genggaman pemerintah. Semua pihak menunggu ketegasan sikap pemerintah yang barangkali dapat lebih menyempurnakan definisi yang dibuat Twain tentang sektor tambang di Indonesia ini menjadi, A mine is a hole in the ground owned by liar, but still undercontrol by government

sumber: