Menjembatani pemahaman Praktek Pertambangan: Bagi Hasil Batubara dan Migas tidak sama (3)

Bagaimana mekanisme bagi hasil batubara atau DHPB itu diberlakukan? dan apa bedanya dengan sistem bagi hasil di migas? Pertanyaan ini penting diajukan dan dibahas, karena akhir-akhir ini soal DHPB dan royalti batubara sering diberitakan di media masa. Di sisi lain, saat ada yang mengusulkan agar DHPB tersebut dinaikkan kadangkala terjadi bias, karena ada yang menganggap seolah-olah antara sistem di batubara dan migas itu disamakan saja. Padahal ada hal yang paling membedakan antara lain tentu saja adalah cost recovery yang diberlakukan dalam bagi hasil migas, dalam pengelolaan pertambangan tidak dikenal cost recovery.

Sistem Bagi Hasil Batubara dan Migas

Untuk perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang terdiri dari tiga generasi, dikenakan kewajiban DHPB yang merupakan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) sebesar 13,5% dari total pendapatan, dimana seluruh biaya kegiatan dan investasi ditanggung kontraktor, alias tanpa cost recovery. Di luar itu untuk PNP (Penerimaan Pajak) bisa mencapai lebih dari 45%, tergantung dari generasinya. Ditambah iuran dll, perusahaan bisa terkena kewajiban finansial sekitar 60-65% dimana biaya produksi ditanggung perusahaan alias tanpa cost recovery. Ketiga generasi tersebut adalah 10 perusahaan PKP2B generasi I yang semuanya sudah produksi, 17 perusahaan PKP2B generasi 2 yang produksi ada 10 perusahaan dan 113 PKP2B generasi 3 yang produksi  ada 17 perusahaan. Maka total ada 37 perusahaan yang sudah produksi, siasanya masih eksplorasi, terminasi atau penundaan. Secara garis besar beberapa kenentuan kontrak dalam PKP2B adalah:

  1. Persentase DHPB untuk semua kontraktor adalah 13,5% terhadap penjualan batubara (kecuaali ada ketentuan lain yang dimungkinkan dalam kontrak PKP2B Generasi III)

  2. Persentase Pajak badan tergantung generasi kontrak

  3. Iuran, pungutan dan pajak lain tergantung geenerasi kontrak

  4. Pemerintah berwenang mengetahui dan mengatur kontrak penjualan dan harga

  5. Kontraktor wajib melaporkan segala kegiatannya

  6. Manajemen dan teknis operasional tetap pada kontraktor.

 Dalam besaran DHPB tersebut termasuk royalti yang besarannya mengikuti PP45 dan sisanya untuk dana pengembangan batubara sesuai Keppres 75/1996. Dalam PP45 antara lain disebutkan bahwa royalti untuk batubara kualitas tinggi besarnya 7%, kualiast menengah 5% dan kualiats rendah 3%. Untuk KP (Kuasa Pertambangan) batubara tidak membayar DHPB mereka hanya diwajibkan untuk membayar royalti saja. Saat ini sudah ratusan KP batubara yang diterbitkan daerah, namun mungkin masih perlu dilakukan audit atas kewajiban pembayaran royalti tersebut.

Untuk sistem bagi hasil minyak bumi adalah 85% pemerintah dan 15% kontraktor, yang secara ringkas dapat digambarkan dalam pola sebagai berikut: 

Indonesia = 85% x (total pendapatan – total biaya); Kontraktor = 15% x (total pendapatan – total biaya) + cost recovery; Untuk gas besaran 85 diganti 70% untuk pemerintah, dan besaran 15% diganti 30% untuk kontraktor.

Besaran 85% tersebut untuk minyak bumi atau 70% untuk gas, sudah termasuk PNP dan PNBP.  Jadi kalo dihitung-hitung hampir sama juga besarana yang diterima dengan di batubara. Bedanya batubara tidak mengenal cost recovery. Sedangkan cost recovery tersebut dapat menjadi ajang meningkatkan keuntungan oleh pengusaha migas.

 Bagaimana di negara lain?

Per 1 Juli 2008, Negara Bagian Queensland Australia mulai memberlakukan kenaikan royalti batubara. Jika semula tarifnya hanya 7% pada harga batubara berapa pun, kini berlaku tarif progresif. Untuk harga di atas US$ 100 per ton dikenai royalti 10%. Sebagai catatan, mayoritas batubara Australia (diatas 6300kkal/kg) adalah kualiats tinggi. Negeri Kangguru itu merupakan eksportir batubara terbesar dunia.
 
Saat ini, royalti batubara berdasarkan PP45/2003 yang dikenakan Indonesia masih   lebih tinggi dibanding produsen terbesar dunia Tiongkok, yang menetapkan tarif 0,5-4%. Tarif di Indonesia juga juga lebih tinggi ketimbang negara tetangga seperti Malaysia (5%) dan Vietnam (1-8%). Apalagi DHPB jauh lebih tinggi lagi, DHPB 13,5% untuk PKP2B bisa jadi yang tertinggi.

Pendapatan pemerintah dari PNBP batubara (iuran tetap, royalti, dan penjualan batubara bagian pemerintah) juga terus melambung. Pada 2004 penerimaan tersebut hanya Rp 2,57 triliun, 2005 naik menjadi Rp 4,69 triliun, dan meningkat lagi menjadi Rp 6,66 triliun tahun 2006. Tahun lalu, penerimaan menembus Rp 8,7 triliun dan tahun ini ditargetkan Rp 10,22 triliun.

Dengan kenaikan harga batubara, aspirasi untuk menaikkan royalti atau DHPB adalah hal yang wajar dan perlu disikapi dengan baik oleh semua pihak. Ada yang mengusulkan agar sistem royalti batubara disamakan dengan migas, bahkan ada yang usul royalti (? bukan DHPB? yang usulpun tidak tahu bedanya DHPB dan royalti) dinaikkan 50%. Untuk itu perlu dilihat sistem yang membedakan diantar keduanya, termasuk kewajiban-kewajiban finansialnya, termasuk sistem cost recovery di migas yang tidak ada di batubara.

Pertimbangan-pertimbangan di atas perlu difikirkan untuk mencari angka yang tepat untuk kenaikan besaran tersebut, yaitu Pemerintah mendapat keuntungan dan perusahaan juga tetap sehat dan berproduksi dengan baik. Maka angka 50% itu adalah angka emosional dan kurang masuk akal.  Bayangkan bila angka ini dikenakan pada perusahaan KP-KP batubara  yang bertebaran di seluruh propinsi dan kabupaten, hampir dipastikan mereka tidak akan survive. Barangkali dapat ditiru cara Pemerintah Queensland yang saat ini menggunakan kenaikan tariff royalty progresif, yaitu disesuaikan dengan harganya (Edpraso) 

sumber: