Meningkatkan Citra Pertambangan (2): Pertambangan Tanpa Izin sebagai Promosi Buruk

Dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR-RI tanggal 20 Oktober 2008, Dr Purnomo Yusgiantoro selaku Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menyampaikan bahwa Pertambangan Tanpa Izin yang sering disebut dengan PETI benar-benar merupakan promosi yang buruk bagi investasi pertambangan Indonesia. PETI sudah berlangsung lama, bahkan sejak tahun 1980an, namun saat krisis ekonomi tahun 1997-1998 berlangsung kegiatan PETI semakin marak karena banyak penduduk yang kehilangan pekerjaan dan beralih ke kegiatan PETI. Kegiatan Pertambangan Tanpa Izin (PETI) telah berlangsung di banyak wilayah di Indonesia, mulai dari Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Jawa Barat, dll.

Dampak PETI

Maraknya kegiatan Pertambangan Tanpa Izin (PETI) berdampak kepada pencemaran dan kerusakan lingkungan, kegiatan perekonomian dan kehidupan sosial di sekitar lokasi, menurunnya minat investor menanamkan modal, berkurangnya pendapatan Pemerintah dari pajak dan non pajak, meningkatnya tindak kejahatan. Kerugian penerimaan negara diperkirana mencapai triliuan rupiah setiap tahunnya.

Persoalan muncul karena wilayah kerja Peti sudah mencakup ribuan hektar, tersebar dibeberapa wilayah pertambangan Indonesia dan batubara yang dijarah sudah mencapai 10 juta ton setahun. Penambangan berijin yang dijarah menyesalkan keberadaan Peti karena telah mengurangi cadangan batubara, merusak lahan kerja dan merusak pasar komoditi tambang, misalnya batubara. 

 Pelaku PETI terdiri dari: penambang tradisional, penambang musiman dan kelompok (dengan alat mekanis dan produksi cukup besar). Bahkan di beberapa wilayah terdapat para pelaku tambang liar yang memasuki wilayah operasi tambang  yang legal.

 Upaya penanggulangan PETI telah dilakukan sejak lama namun dari tahun ke-tahun menunjukkan sulitnya mengatai permasalahan ini. Hal ini juga antara lain oleh kompleknya faktor-faktor yang menyebabkan semakin maraknya kegiatan PETI, yaitu  antara lain adalah masih terjadinya kemiskinan dan lapangan kerja pada kehidupan masyarakat semakin sulit,  hubungan antara pemegang izin resmi dengan masyarakat setempat, terbatasnya kesempatan kerja, adanya dukungan (backing) dari para cukong, dll.

Alur Kegiatan PETI

Secara ringkas alur kegiatan PETI, khususnya PETI batubara bisa dibagi menjadi: lokasi-stokpile tambang-stockpile pelabuhan- konsumen.  Berdasarkan alur ini, ada bebarapa pihak yang berperanan penting, yaitu pemilik lokasi, pemilik stockpile tambang, stockpile pelabuhan dan konsumen PETI. Trader memiliki peran yang sangat besar dalam alur ini, karena traderlah yang menguasai informasi tentang kebutuhan PETI, misal batubara. Kenyataannya trader bekerja sangat fleksible dan efisien, mereka bisa bekerja mulai dari lokasi tambang sampai ke pelabuhan. Transportasi juga sangat berperan penting, dimana banyak orang terlibat dalam kegiatan ini.

Pemerintah telah melakukan berbagai  upaya dan pendekatan. Seperti pembentukan Tim Terpadu Pusat dan Daerah berdasarkan Inpres 3/2000 tentang penanggulangan PETI. Pendekatan dengan penanggulangan PETI dengan berdasarkan tugas dan fungsi masing-masing instansi, yang didasari oleh Keppres 25/2001 dan Keppres 44/2004. Juga telah dibuat Blue-Print sebagai kesepakatan hasil Rapat Koordinasi Upaya Penanggulangan terpadu PETI pada 18 Januari 2005, khususnya untuk PETI di wilayah Kalsel dan Maluku Utara. Akhir-akhir ini juga beberpa tindakan law-enforcement telah dilakukan diantaranya adalah penutupan smelter di Bangka-Belitung. Sosialisasi dan penyuluhan serta pendekatan kemitraan juga dilakukan di banyak daerah. Faktanya adalah bahwa konon PETI tetap ada sampai sekarang, bahkan di beberapa daerah PETI semakin merajalela. Sulitnya memotong atau jalur perdagangan PETI antara lain adalah disebabkan oleh:

  1. Hasil produksi PETI bisa dijual jauh lebih murah. Sehingga dari sisi pembeli selalu saja ada yang mencari produk PETI.
  2. Banyak pihak yang terlibat pada kegiatan PETI, mulai dari oknum, cukong dan pelaku langsungnya.   

  3. Para pelaku PETI bekerja setiap hari memanfaatkan setiap peluang dan kesempatan untuk menciptakan keuntungan bagi kegiatan mereka tanpa memperdulikan sisi lingkungan, pajak  atau penerimaan negar alainnya. Di sisi lain pemerintah bekerja dengan keterbatasan yang ada. 

  4. Proses hukum terhadap para pelaku PETI yang tertangkap dirasakan sangat lambat, dan kebanyakan tidak menyelesaikan masalah PETI itu sendiri, sedangkan hukuman untuk para pelaku PETI juga dianggap sangat ringan. Pada beberapa kasus, pada saat terjadi operasi penertiban PETI, kegiatan PETI sedikit menurun, namun sesudahnya kegiatan PETI kembali merajalela.

Sebenarnya walaupun belum optimal, beberapa hasil penanggulangan PETI dapat dicatat. Diantaranya adalah penutupan smelter liar dan penghukuman apda pelaku PETI timah di  Bangka-Balitung yang telah mengakibatkan naiknya harga timah di pasaran dunia. Pelarangan penjualan pasir timah dan mewajibkan agar menjual dalam bentuk timah batangan juga ikut mendongkrak harga timah. Hasil kegiatan verifikasi KP-KP di Kalimantan Selatan seiring dengan upaya penanggulangan PETI juga membuahkan hasil semakin sedikitnya ruang grak PETI.

PETI di Negara lain-Laporan Breaking New Ground

Persoalan penambangan liar tidak hanya di Indonesia namun juga di beberapa negara penghasil tambang. Tahun 2002, organisasi international Mining, Mineral and Sustainable Development (MMSD) menerbitkan laporan Breaking New Ground, berisikan standar, pedoman dan rekomendasi bagi industri pertambangan untuk melakukan penambangan berkelanjutan. Salah satu bagian laporan ini adalah masalah penanganan pertambangan illegal berdasarkan hasil studi di 18 negara.

Menurut laporan itu, obyektif utama program penanganan PETI bukan memberantas kegiatan ini secara total tapi lebih jauh lagi, yakni: untuk mengurangi kemiskinan, membuka aktivitas ekonomi lain serta mengurangi dampak lingkungan dan konservasi sumberdaya. Pendekatan yang direkomendasikan adalah ekonomi, sosial dan teknologi dengan dukungan koordinasi dan kerjasama seluruh aktor: pemerintah pusat dan lokal, industri pertambangan, LSM dan lembaga riset dan perguruan tinggi. Tiap aktor tersebut mempunyai peran yang saling melengkapi.

Pemerintah berperan dengan menyusun kebijakan yang tegas, konsisten dan transparan dalam mengatur usaha pertambangan, terutama hal perijinan, pembinaan, kewajiban dan sanksi. Studi tersebut merekomendasikan pendekatan legalisasi bagi penambang yang memenuhi kriteria yang disyaratkan – seperti laporan rencana penambangan, produksi dan penanganan lingkungan. Penambang jenis ini diberi insentif, misalnya pemberian pelatihan, pembinaan, sedangkan yang tidak memenuhi kriteria harus ditindak tegas (ditutup).

Kerjasama lintas Departemen dan aparat hukum mutlak diperlukan karena PETI tidak semata persoalan pertambangan namun juga ekonomi (kemiskinan dan peluang kerja), lingkungan dan sosial.

Industri pertambangan harus mengubah pola hubungannya dengan masayarakat sekitarnya dari rasa curiga dan represif menjadi hubungan bersifat kolaboratif. Sebagai contoh, laporan itu juga menyebutkan bahwa perusahaan Placer Dome berhasil mengatasi persoalan PETI di tambangnya di Venezuela dengan menerapkan strategi ini secara bertahap, yakni: passive accomodation, constructive engagement dan akhirnya colaborative relations. (oleh: Edpraso, djmbp).

 

 

sumber: