Lebih Realistis Untuk Panas Bumi
Kita selalu bilang punya potensi besar sampai 27 gigawatt ekuivalen, sementara cadangan yang terbukti sebenarnya hanya sekitar 2.000 MW, sisanya cadangan yang mungkin dan cadangan spekulatif,†ujar pengamat kelistrikan, Herman Darnel Ibrahim.
Perkiraan cadangan yang besar itulah yang menjadi salah satu alasan pemerintah menjadikan panas bumi sebagai energi andalan untuk kelanjutan proyek percepatan pembangkit listrik tahap kedua.
Pemerintah berambisi total daya pembangkit yang dibangun pada crash program tahap II ini mencapai 12.000 megawatt. Sekitar 6.000 MW ditargetkan menggunakan energi panas bumi. Proyek-proyek pembangkit itu ditargetkan sudah bisa beroperasi dalam
Dari sisi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, harus diakui ada perbaikan untuk membuat pengembangan panas bumi lebih menarik. Antara lain, keluarnya peraturan Menteri Keuangan yang membebaskan bea masuk peralatan eksplorasi panas bumi. Selain itu, pemerintah mengeluarkan patokan penetapan harga jual panas bumi melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 14 Tahun 2008 tentang Harga Listrik Panas Bumi.
Dulu, harga ditetapkan lewat negosiasi investor dengan PLN. Akibat tak ada patokan yang jelas, kesepakatan sering tidak tercapai. Sekarang, harga ditetapkan berdasarkan lelang. Mengacu pada ketetapan itu, harga jual listrik panas bumi rata-rata 8-9 sen dollar AS per kWh.
Namun, perhitungan lebih matang sangat diperlukan untuk menjadikan pengembangan panas bumi benar-benar prospektif. Berkaca pada proyek percepatan tahap I yang ditetapkan tanpa studi kelayakan awal yang jelas, jangan sampai menargetkan angka yang sulit dicapai.
Meski unggul sebagai energi terbarukan yang ramah lingkungan dan tidak terpengaruh harga dunia, pengembangan panas bumi untuk energi pembangkit memiliki risiko investasi yang besar. Dengan prosedur yang ada, pengembangan panas bumi butuh waktu 8-10 tahun.
Pembangkit listrik tenaga panas bumi bukanlah fenomena baru. Direktur Pembinaan Pengusahaan Panas Bumi dan Pengelolaan Air Tanah Sugiharto Harsoprayitno mengatakan, pengembangan panas bumi selalu dilakukan ketika pemerintah terdesak mencari alternatif pengganti bahan bakar minyak.
Ketika panas bumi pertama kali dikembangkan tahun 1970-an, harga minyak naik gila-gilaan akibat krisis di Timur Tengah. â€Sekarang pun panas bumi baru kedengaran setelah krisis minyak terjadi lagi plus batu bara,†ujar Sugiharto.
Setelah 30 tahun lebih pascaproyek pengembangan panas bumi pertama di Kamojang tahun 1974, total daya listrik yang dibangkitkan dengan panas bumi hingga kini hanya 1.042 MW.
Upaya pemerintah memperbanyak eksplorasi agar kepastian cadangan meningkat terkendala pendanaan. Sebagian besar penelitian sumber daya panas bumi dilakukan dengan bantuan dari luar negeri, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.
Dengan minimnya data cadangan pasti, penawaran wilayah kerja pertambangan panas bumi tanpa didahului eksplorasi semakin memperbesar risiko yang ditanggung investor. Untuk mengembangkan 1 MW daya listrik dari panas bumi butuh investasi minimal 3 juta dollar AS.
Selain risiko teknis, pengembangan panas bumi pun kerap terhambat prosedur pelelangan wilayah kerja. Sesuai UU Panas Bumi, lelang wilayah kerja panas bumi diserahkan ke pemprov. Namun, tak semua pemerintah provinsi siap dengan sumber daya manusia dan pendanaan.
Desember 2007, pemerintah pusat menyerahkan enam wilayah kerja panas bumi kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nanggroe Aceh Darussalam. Setelah enam bulan, hanya Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang bisa melakukan lelang.
Masalah kesiapan pemda perlu dapat perhatian serius karena, untuk proyek percepatan kelistrikan tahap II, pemerintah berencana menetapkan 39 wilayah kerja panas bumi.
Dari dua wilayah yang dilelang di Jawa Barat, wilayah Cisolok Sukarami dinyatakan masuk hutan konservasi. Tumpang tindih dengan lahan kehutanan ini meresahkan karena 99 persen wilayah kerja panas bumi berada di hutan konservasi. Konsistensi dan kejelasan regulasi ini dikeluhkan pelaku usaha.
Idealnya, agar kompetitif, panas bumi dikembangkan terintegrasi dari hulu dan hilir. Investor langsung mengembangkan eksploitasi panas bumi dan pembangkitnya, sekaligus mendistribusikannya ke konsumen.
Namun, mengacu pada UU Ketenagalistrikan, hal itu tidak bisa dilakukan. Di sisi hilir, pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan dipegang PT PLN. Sebagai pembeli tunggal, seluruh produksi pembangkit listrik dijual ke PLN. Kecuali jika produsen menggunakannya untuk keperluan sendiri.
sumber: