Industri Hulu dan Hilir Harus Berintegrasi
Direktur Industri Logam, Departemen Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan dalam paparan di Ditjen Mineral, Batubara dan Panas Bumihari ini, menyatakan bahwa di dalam pengembangan industri nilai tambah produk pertambangan yang sangat berniali strategis untuk mendorong perekonomian nasional tersebut, maka ketersediaan bahan baku dan energi setempat terhadap pengembangan industri tersebut merupakan faktor dasar yang paling utama. Faktor lainnya seperti teknologi, SDM, dll merupakan faktor selanjutnya. Untuk jaminan investasi tersebut maka bahan baku tersebut diharapkan memiliki kemampuan suplai antara 15-30 tahun.
Industri logam dan baja pada dasarnya merupakan industri dasar dan utama sebagai penggerak atau penyedia bagi keperluan industri selanjutnya, seperti industri elektronik, pertahanan, kesehatan, otomotif, dll. Pada dasarnya terdapat korelasi kuat antara konsumsi baja perkapita dengan GDP per kapita. Konsumsi baja Indonesia saat ini hanya sekitar 26,1 kg per orang per tahun. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya, seperti: Malaysia 278 kg per capita, Jepang 648,5 kg per capita. Bahkan kita kalah oleh Filipina yang saat ini sebesar 33,9kg per capita dan Vietnam 92,1 kg per capita. Penggunaan baja per capita di Indonesia bahkan masih jauh di bawah rata-rata dunia yaitu sebesar 189 kg per capita.
Bagaimana Ke-depan?
Ke-depan diperlukan adanya integrasi rantai industri hulu dan hilir, yaitu mulai dari proses pertambangan, pengolahan sampai ke pemanfaatan untuk industri hilirnya. Di dalam UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terdapat amanat adanya kewajiban pengolahan di dalam negeri untuk produk pertambangan baik untuk izin baru maupun untuk kontrak/perjanjian lama. Untuk kontrak atau perjanjian lama (KK dan PKP2B) diberi waktu sampai 5 tahun untuk dapat melakukan pengolahan di dalam negeri. Sebagai konsekuensi atas hal tersebut maka dapat terjadi dua hal. Pertama, saat adanya pembangunan industri nilai tambah produk pertambangan yang bernilai jutan dollar, maka diperlukan jaminan pasokan, konsekuensinya ke-depan perlu ada pengaturan terhadap produksi hasil tambang tersebut untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri tersebut. Ke-dua perlu ada penetapan standar teknologi yang akan diterapkan oleh para pelaku industri nilai tambah tersebut. Jangan sampai terjadi bahwa yang diterapkan adalah teknologi 20-30 tahun yang lalu yang kotor dan tidak ramah lingkungan, dimana di negara asalnya sendiri teknologi tersebut sudah tidak digunakan. Hanya karena murah maka dipilih teknologi yang kuno dan tidak ramah lingkungan, disinilah peran pemerintah sebagai fasilitator sekaligus filter terhadap hal tersebut.
Apa yang terjadi sekarang masih sebuah ironi, karena dari berbagai propinsi dan kabupaten masih berbondong-bondong mengekspor barang mentah Indonesia ke luar negeri. Padahal Indonesia akan membutuhkan produk tersebut juga pada akhirnya. Intinya dalah seperti disampaikan, yaitu perlunya integrasi hulu dan hilir yang harmonis. Sekarang inilah saatnya untuk berjalan bersama,mumpung UU Minerba sudah disahkan, dan diharapkan ini dapat diakomodir dalam penyusunan PP yang saat ini sedang berlangsung.
Salah satu hal yang penting juga untuk ke-depan sangat diperlukan adanya "technology mapping" untuk seluruh barang tambang yang ditetapkan untuk diolah di dalam negeri tersebut. Ini memerlukan kerja bareng antar instansi untuk ditetapkan dan menjadi acuan bersama. Hal ini sangat penting dikaitkan dengan peningkatan daya saing bangsa.
(edpraso)