Era Baru pertambangan: WIlayah Pertambangan, Daerah dan Pusat Harus Sinergi (3)

Penetapan WIlayah Pertambangan (WP) adalah pekerjaan rumah pertama pasca dikeluarkannya UU No 4/1997 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Untuk itu maka antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu bersinergi dan bekerjasama untuk merumuskan bersama-sama. Hal ini amatlah diperlukan, karena beberapa hal. Pertama adalah adanya pergeseran semangat di dalam pengelolaan sumbderaya mineral dan batubara. Melalui UU Minerba Pemerintah menginginkan adanya peningkatan manfaat secara optimal pada pengusahaan mineral dan batubara, antara lain dengan adanya ketentuan untuk melakukan pengolahan hasil tambang di dalam negeri.

 

Saat dikeluarkannya UU No 11/1967 tentang Ketentuan-Ketenatuan Pokok Pertambangan, Indonesia baru merdeka selama 12 tahun. UU 11/1967 telah mengawal sistem dan pola KK/PKP2B dan KP selama 40 tahun lebih. dengan cukup berhasil.  Dibandingkan dengan UU 11/1967 ini , isi UU Minerba sudah jauh lebih baik dan komprehensif, maka sangatlah wajar bila Pemerintah sangat berharap bahwa dengan UU ini kondisi pengusahaan pertambangan di Indonesia akan semakin baik. Adalah tidak tepat untuk mempertentangkan aspek kepastian hukum UU Minerba. Lahirnya UU Minerba adalah kepastian Hukum baru yang sudah lama ditunggu oleh banyak kalangan. Mengapa? karena UU ini telah mengadopsi banyak hal, diantaranya:

  • Bahwa UU Minerba di susun dengan mangadopsi kondisi  yang berkembang saat ini, seperti: demokratisasi, HAM dan lingkungan hidup. Sehingga sudah tidak bertentangan dengan UU yang ada, a.l. UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
  • Telah diatur distribusi kewenangan yang jelas antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah di dalam penyelenggaraan kebijakan pertambangan umum. Disamping itu juga terdapat mekanisme pemberian sangsi terhadap para pelaku pelanggaran oleh Petugas Pemerintah Daerah. Dikenakan hukuman maks 2 tahun kurungan  atau denda maks Rp. 200.000.000 terhadap petugas Pemerintah Daerah yang mengeluarkan izin tidak sesuai dengan peraturan  perundang-undangan yang berlaku.
  • Pemerintah juga dapat menetapkan prioritas nasional, seperti: DMO, nilai tambah hasil tambang, dll.  
  • Bagi para pengusaha telah di atur secara jelas mekanisme pengusahaan mulai dari sistem pelelangan, luas wilayah, jangka waktu, dll. 
  • Masyarakat sekitar tambang juga dilindungi hak-haknya mulai dari kewajiban pengembangan masyarakat dan perlindungan lingkungan. 

   

Bagaimana dengan pengusahaan pertambangan yang sudah ada? 

 

Saat ini terdapat 42 perusahaan KK dan 76 perusahaan PKP2B yang aktif. Untuk KK yang aktif terdiri dari 12 perusahaan dalam status produksi, 5 konstruksi, 11 studi kelayakan, 10 eksplorasi, dan 4 penyelidikan umum. Sedangkan untuk PKP2N terdiri dari 40 perusahaan PKP2B sudah produksi (9 dari Generasi I, 10 dari Generasi II dan 21dari Generasi III), 15 status konstruksi, 16 status studi kelayakan dan 5 status eksplorasi.

 

UU Minerba menyatakan bahwa, perusahaan tambang yang sudah ada khususnya KK dan PKP2B tetap dihormati. Hal ini sesuai dengan Ketentuan Peralihan Pasal 169 huruf (a) yang menyebutkan bahwa: "Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian". Menurut Ketentuan Peralihan Pasal    169 huruf b."Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara".   

 

 

Bagaimana dengan Kuasa Pertambangan?

 

Selama era otonomi daerah, khususnya sejak tahun 2001 ketika dikeluarkannya PP 75 tahun 2001, yaitu ketika penegasan tentang pemberian Kuasa  Pertambangan (KP) dilakukan oleh Pemerintah Daerah, yang berdasarkan aturan tersebut diberikan oleh bupati, gubernur atau menteri sesuai dengan kewenangannya. Dalam prakteknya sebagian besar dari KP yang dikeluarkan selama otonomi daerah tersebut diterbitkan oleh kabupaten. Hal ini dapat dimengerti karena untuk perizinan KP yang dikeluarkan oleh propinsi harus yang berbatasan antara sedikitnya 2 kabupaten, sedangkan yang dikeluarkan menteri harus yang berbataskan sedikitnya 2 propinsi. Kriteria ini sangat jarang ditemui dilapangan, baik sengaja atau tidak sengaja.

 

Saat ini jumlah KP yang dikeluarkan di daerah yang terinventarisir di Ditjen  Mineral, Batubara dan pans Bumi sudah melebihi angka 2500 KP,belum terhitung yang tidak aktif dan tidak membayar royalti, sehingga bila dijumlahkandari seluruh propinsi jumlahnya bisa lebih dari 3000 KP. Bila rata-rata satu KP memilki 5. 000-10.000 Ha bayangkan betapa luasnya wilayah tambang yang ada untuk KP saat ini. Berdasarkan hasil inspeksi di berbagai wilayah ditemukan bhwa banyak dari KP-KP ini yang belum secara serius menerapkan prinsip-prinsip penambangan yang baik dan benar. Disamping supply-demand balance menjadi sangat sulit diketahui pada kondisi ini, disebabkan rendahnya kesadaran untuk memberikan laporan yang baik dan benar kepada Pemerintah. Terlebih lagi sebagian besar dari komoditi tambang tersebut dijual dalam bentuk bahan mentah. Ini adalah salah satu ekses dari otonomi daerah dimana diperlukan pengaturan, komitmen dan kerjasama lebih lanjut untuk memperbaiki kondisi ini ke-depan. Disinilah peran UU Minerba.

 

Berdasarkan pada UU Minerba, KP yang sudah ada sebelum UU Minerba ini disahkan wajib mengikuti mekanisme yang ada di dalam UU Minerba dan istilah KP diganti menjadi IUP, dengan penjelasan lebih lanjut akan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Seyogyanya dan memang ketentuannya demikian, setelah UU Minerba disahkan, Pemerintah Daerah sudah menghentikan pemberian KP baru sambil menunggu ketentuan PP yang mengatur soal ini lebih lanjut. Hal ini karena di dalam mekanisme UU Minerba  tersebut, pemberian IUP tidak dengan pemberian atau penunjukan langsung seperti sebelumnya tapi harus melalui mekanisme lelang.

 

 

Era Keruk Habis Sudah Berakhir 

 

Ada yang mengatakan bahwa UU Minerba melanggengkan rejim keruk habis sumberdaya mineral. Pendapat ini tidak tepat. UU Minerba justru berkehendak pengaturan yang lebih baik untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sesuai dengan Pasal 102 pada Bab XIII Hak dan Kewajiban, perlu dipahami bahwa Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang (vide Pasal 1 angka 6), di samping itu setiap peningkatan tahap kegiatan tidak secara langsung diberikan, tetapi akan dilakukan dievaluasi terlebih dahulu, apabila sudah dianggap layak baru dapat disetujui peningkatan tahap kegiatannya. 

 

Di samping itu, "Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara". Hal di atas dimaksudkan bahwa pemegang IUP dan IUPK (tahap Operasi Produksi) tidak diperkenankan untuk menjual bahan tambang asalan/raw material secara langsung dan wajib melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian terhadap bahan tambang tersebut sehingga  memiliki  nilai jual  lebih yang pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan Negara dari royalty penjualan bahan tambang. Alasannya cukup jelas, sudah cukup lama Indonesia menjadi pengekspor bahan mentah (raw material) untuk komoditi tambang, sementara di saat kita membutuhkan barang yang sudah jadi, kita import dengan harga yang sudah berlipat ganda. Ini bukanlah pekerjaan mudah tapi membutuhkan kerjasama dengan semua pihak dan komitmen yang besar untuk itu. 

  (edpraso)\"Smile\"

 

 

 

  

 

sumber: