Dilema pascatambang terbuka batu bara Ombilin

 

 Bisnis Indonesia, 14 Juni 2004 Banyak orang meragukan masa depan sebuah kota tambang setelah bahan tambang yang menjadi sumber utama penghidupan masyarakatnya habis. Karena itu, semua kota tambang bakal mengalami masalah eksistensi dalam menghadapi masa depan pascahabisnya bahan tambang.

Situasi itu bertambah rumit ketika sumber daya manusia di kota tambang itu belum tercerdaskan. Sementara bahan tambang yang selama ini menjadi sumber pendapatan utama daerah dan masyarakatnya, sudah habis.

Hal itulah yang dirasakan Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatra Barat. Selama seratus tahun, cadangan batu bara di Kota Sawahlunto Sumatra Barat telah dieksploitasi sebesar 30 juta ton.

Saat ini, cadangan yang tersisa lebih dari 100 juta ton. Walau demikian, masa depan penambangan batu bara di Ombilin ini belum jelas.

Mengapa? Sebab cadangan tersebut hanya bisa diekspolitasi dengan metode tambang dalam. Hal ini sangat tergantung kepada teknologi tinggi, harga yang cocok dengan biaya produksi dan permintaan pasar.

Selama ini, tambang batu bara merupakan sumber utama pendapatan asli daerah (PAD) dan sebagian besar masyarakat Kota Sawahlunto menggantungkan diri dengan hasil tambang batu bara.

Hal itu bisa dilihat dari pekerjaan penduduknya. Di Sawahlunto, dari 20.079 penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha dan tingkat pendidikan, yang khusus bekerja di sektor tambang batu bara saja 3.340 orang.

Jumlah itu belum termasuk mereka yang bekerja di industri termasuk industri pertambangan yang jumlahnya mencapai 2.723 orang dan perdagangan termasuk perdagangan batu bara mencapai 2.236 orang.

Investasi Belanda

Sejak ditemukan pada 1858, eksploitasi batu bara dengan cara tambang terbuka terus dilakukan. Sejak itu, batu bara seperti membawa berkah bagi Kota Sawahlunto. Sebab, infrastruktur ikutannya yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar juga dibangun.

Pada 1887, Pemerintah Hindia Belanda menanamkan investasi sebesar 5,5 juta gulden untuk membangun fasilitas pengusahaan tambang batu bara ombilin seperti pelabuhan Teluk Bayur dan kereta api.

Tahun 1893, Pemerintah Hindia Belanda menyelesaikan pembangunan Pelabuhan Teluk Bayur. Sedangkan jalan kereta api yang menghubungkan Teluk Bayur-Sawahlunto melewati Kota Padangpanjang selesai dibangun pada 1893.

Dengan selesainya pembangunan fasilitas Pelabuhan Teluk Bayur dan kereta api, maka produksi batu bara terus meningkat. Sejak itu, setiap tahun, ratusan ton batu bara bisa diproduksi, bahkan pada 1920, bisa menghasilkan laba bersih sebesar 4,6 juta gulden.

Hingga saat ini, sudah 50 perusahaan yang mengantongi kuasa pertambangan (KP). Yang tercatat sebagai perusahaan dengan produksi terbesar adalah PT Tambang Batubara Bukit Asam Unit Penambangan Ombilin (PTBA UPO), PT Allied Indo Coal (AIC) dan PT KarbindoAbessyapradhi.

Kehadiran tambang batu bara Ombilin tersebut sangat menguntungkan Kota Sawahlunto. Bahkan tambang batu bara Ombilin tersebut menjadi trade mark Kota Sawahlunto. Orang dari manapun mengenal Kota Sawahlunto tidak terlepas dari sejarah tambang batu baranya.

Menurut Wali Kota Sawahlunto Amran Noer, aktivitas pertambangan batu bara Ombilin sangat mempengaruhi dinamika ekonomi dan keuangan Kota Sawahlunto.

Menurut dia, tambang batu bara mempengaruhi melalui kewajiban perusahaan tambang untuk memberikan konstribusi kepada pemerintah kota melalui pajak, retribusi dan iuran, prasarana fasilitas dan pelayanan yang dikembangkan dan dikelola perusahaan.

Pengaruh tambang batu bara Ombilin juga bisa dirasakan melalui para karyawan dan pekerjanya yang bermukim membelanjakan pendapatannya, kontrak dan sub kontrak kepada perusahaan lokal serta kegiatan sosial.

Namun, pengaruh tersebut terus berkurang seiring menurunnya produksi batu bara. Sejak 1999 sampai 2003, produksi batu bara menurun.

Tahun 1999, produksi batu bara 1.091.346,8 ton. Tahun 2000 menurun jadi 736.738,34 ton. Sampai akhirnya tahun lalu, produksi batu bara Ombilin tinggal 130.000 ton.

"Tambang terbuka sudah habis, saat ini kami tinggal berharap kepada tambang dalam. Namun, untuk tambang dalam dibutuhkan investasi besar. Itu yang menjadi dilema," tambah Amran.

Untuk memproduksi batu bara dengan metode tambang dalam, pemerintah provinsi sudah mengupayakan menggaet investor dari Singapura dan Cina.

Selain itu, pemerintah provinsi juga sudah meminta bantuan kepada pemerintah pusat untuk mencarikan investor. Namun, hasilnya belum kelihatan.

PTBA UPO memang sudah mulai melakukan tambang dalam, tapi produksinya masih sangat kecil. Untuk bisa memproduksi dalam jumlah yang besar, PTBA UPO harus mencari investor.

Sedangkan PT AIC sudah mendapatkan investor dari Cina. Saat ini, PT AIC sedang menyiapkan konstruksi tambang dalam. Tapi, PT Karbindo Abessyapradhi masih menunggu investor. "Kami masih menunggu," kata Amran.

sumber: