ANALISIS EKONOMI CHATIB M BISRI: Kesinambungan Fiskal dan Beban Anggaran
Kompas, SAYA kira tidak seorang pun di negeri ini yang akan menolak pentingnya alokasi dana untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur mengingat kondisinya yang sudah sangat menyedihkan. Selain itu, investasi pemerintah juga dianggap dapat dijadikan sumber penggerak pertumbuhan, seperti preskripsi ekonomi Keynesian. Namun, sayangnya kita kerap terbentur kendala anggaran. Jika kita ingin menambah target defisit anggaran, target rasio utang/ produk domestik bruto (PDB) akan sulit mengalami penurunan dan ada masalah pada kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) atau anggaran pemerintah.
Di sini saya kira isu kesinambungan fiskal menjadi penting. Selain ia juga menjadi dasar bagi kestabilan makro-ekonomi jangka pendek. Kebijakan fiskal dapat dianggap berkesinambungan jika pemerintah tak mengalami kesulitan keuangan untuk membiayai anggarannya dalam jangka waktu tak terbatas. Implikasinya: kesinambungan fiskal akan sangat tergantung pada kemampuan pemerintah untuk memperoleh sumber penerimaan pajak melalui pertumbuhan ekonomi, efisiensi kebutuhan anggaran melalui peningkatan penerimaan maupun penajaman pengeluaran, serta sumber pembiayaan melalui penerimaan nonpajak, seperti penjualan aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) atau privatisasi dan restrukturisasi utang.
Jika pemerintah tidak bisa menjamin kesinambungan fiskal, maka akan ada ancaman terhadap runtuhnya keuangan negara. Selain itu, masalah dalam kesinambungan fiskal akan berakibat terhadap meningkatnya country risk Indonesia, yang pada gilirannya akan menurunkan peringkat dan meningkatkan risiko dan menghambat masuknya investasi ke Indonesia.
Memang sejauh ini penghitungan yang dilakukan menunjukkan bahwa kesinambungan fiskal masih terjamin. Namun, patut diingat, proyeksi ini didasarkan pada asumsi bahwa berbagai indikator makro-ekonomi seperti pertumbuhan, nilai tukar, tingkat bunga, dan inflasi stabil. Begitu juga asumsi harga minyak. Dengan asumsi proyeksi pertumbuhan ekonomi 4,8 persen untuk tahun 2004 dan 5 persen sampai dengan 5,5 persen untuk tahun 2005, serta inflasi sebesar 5 persen sampai dengan 6 persen, maka proyeksi anggaran memang terkesan realistis dan kesinambungan fiskal masih akan terus terjamin.
Akan tetapi, pertanyaan penting yang harus diajukan adalah apa yang akan terjadi jika kondisi makro-ekonomi kita mengalami guncangan? Atau secara lebih spesifik, apa yang akan terjadi jika pemerintah harus menanggung beban akibat berbagai persoalan yang dihadapi, seperti naiknya harga minyak. Melemahnya nilai tukar rupiah atau jatuh tempo utang, utang badan usaha milik negara (BUMN), program penjaminan perbankan, kasus sengketa perjanjian seperti Karaha Bodas Company (KBC)-yang mengharuskan Pemerintah Indonesia membayar sejumlah tertentu- dan kasus Cemex yang sekarang sedang berada dalam proses arbitrase, mungkin juga akan memberikan beban tambahan bagi Pemerintah Indonesia? Sebab itu, kita harus melihat masalah ini dengan hati-hati.
OLEH karena itu, mungkin baik apabila kembali mengingat tentang rentannya fiskal kita terhadap perubahan kondisi eksternal, seperti melemahnya nilai tukar, meningkatnya harga minyak, serta jika terjadi risiko fiskal akibat contingent liabilities (kewajiban yang harus dipenuhi jika sesuatu hal terjadi). Pertanyaan ini menjadi amat penting dibahas karena Pemerintah Indonesia, yang akan menjalankan pemerintahan selama lima tahun mendatang, mau tidak mau harus menjamin adanya kesinambungan fiskal. Hal itu terutama jika dikaitkan dengan beberapa isu aktual saat ini, seperti di bawah ini.
Pertama, melemahnya nilai tukar rupiah. Jika melemahya nilai tukar rupiah berlanjut dan berlangsung lama, maka ada risiko target anggaran terganggu. Namun, terlalu pagi jika kita serta-merta melakukan revisi atas asumsi anggaran karena masih sulit untuk memastikan apakah pola menurunnya rupiah ini akan bersifat temporer atau permanen. Hal itu mengingat gejala ini juga bersumber pada situasi eksternal, yakni melemahnya hampir semua mata uang terhadap dollar Amerika Serikat (AS).
Kedua, harga minyak yang tinggi. Meningkatnya harga minyak secara tajam, apabila berlangsung dalam jangka panjang, tentu dapat memengaruhi anggaran pemerintah. Memang benar bahwa dari sisi penerimaan, kenaikan harga minyak akan meningkatkan penerimaan anggaran melalui penerimaan. Namun, perlu diingat, sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Daerah, penerimaan pemerintah dari minyak harus dibagi dengan pemerintah daerah karena jumlah neto dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebenarnya tidak setinggi kenaikan harga minyak itu sendiri.
Di sisi lain, harga minyak yang tinggi juga akan menambah berat beban bagi anggaran pemerintah. Subsidi bahan bakar minyak (BBM) tahun ini diperkirakan mencapai Rp 12 triliun, dengan asumsi harga minyak 21 dollar AS per barrel. Jika harga tetap bertahan pada sekitar 41 dollar AS per barrel, maka jelas beban anggaran akan meningkat secara signifikan sehingga target dari defisit anggaran pun menjadi semakin berat.
Ketiga, tekanan fiskal akibat persoalan hukum dan kontrak. Ada dua kasus yang mengemuka dalam kaitan ini. Kasus pertama adalah kasus KBC dan yang kedua adalah kasus arbitrase internasional Cemex. Dalam kasus KBC, pemerintah memutuskan untuk menalangi utang Pertamina sebesar 250 juta dollar AS, dari total beban yang harus dibayar sebesar 294 juta dollar AS. Dana sebesar itu kemudian dijadikan penyertaan modal pemerintah. Dalam kasus Cemex-yang sekarang proses arbitrasenya sedang berlangsung-jika Pemerintah Indonesia kalah dalam menghadapi gugatan Cemex, maka -seperti diberitakan di beberapa media masa-ada kemungkinan Pemerintah Indonesia harus membayar 400 juta- 500 juta dollar AS. Suatu jumlah yang juga akan memberikan tekanan pada anggaran karena mencapai 50 persen dari proyeksi penerimaan privatisasi tahun 2005.
Di sini kita melihat adanya tekanan fiskal yang dapat terjadi karena soal-soal contingent liabilities dalam jangka pendek. Studi yang dilakukan LPEM- FEUI (2003) mencoba menghitung neraca risiko pemerintah dalam 30 tahun kedepan. Harus diakui bahwa perhitungan yang dilakukan masih relatif kasar dan tidak bisa menangkap semua aspek neraca pemerintah, karena keterbatasan data dan informasi yang ada.
Namun, ada satu temuan penting: studi ini menunjukkan jika aset dan kewajiban pemerintah dalam 30 tahun ke depan dihitung dengan menggunakan nilai saat ini (present value), maka nilai bersih anggaran pemerintah adalah negatif lebih dari Rp 2.000 triliun. Nilai negatif ini relatif sangat besar, yang menunjukkan risiko fiskal yang sangat tinggi. Estimasi neraca risiko fiskal yang pernah dilakukan Bank Dunia (2002) juga memberikan nilai negatif net worth sebesar Rp 1.339,8 triliun untuk base case scenario; negatif Rp 980,3 triliun untuk better-case scenario; dan negatif Rp 2.383,8 triliun untuk worse-case scenario.
SIMULASI LPEM-FEUI juga menunjukkan bahwa jika keadaan makro terus stabil dan tak ada guncangan eksternal, maka rasio utang pemerintah serta indeks kesinambungan fiskal akan terus menurun. Artinya, kesinambungan fiskal akan semakin terjamin. Dan untuk mencapai target rasio utang terhadap PDB sebesar 60 persen pada tahun 2007, rasio penerimaan pajak yang dibutuhkan adalah sebesar 15 persen. Artinya, jika rasio pajak dapat ditingkatkan 1 persen per tahun, maka kondisi ini akan tercapai. Namun, apabila contingent liabilities dimasukkan dalam perhitungan, maka indeks kesinambungan fiskal akan meningkat, yang artinya kesinambungan fiskal terancam. Perhitungan LPEM-FEUI menunjukkan untuk rasio utang terhadap PDB sebesar 78 persen saja, dibutuhkan surplus anggaran sebesar 4 persen.
Artinya, rasio penerimaan pajak harus ditingkatkan menjadi 17 persen dari sekitar 13,4 persen. Jelas sesuatu yang amat sulit dicapai oleh pemerintah. Terlihat bahwa untuk kesinambungan fiskal pemerintah harus berhati-hati dalam menyusun aset dan kewajibannya. Hasil negatif net worth yang diperoleh dari pendekatan ini menunjukkan, kondisi fiskal Indonesia sangat rentan jika terjadi suatu hal dalam perekonomian, atau jika pelaku-pelaku ekonomi mengalami kegagalan. Tanggungan pemerintah menjadi sangat besar dan ini membahayakan kondisi fiskal.
Namun, yang perlu diingat di sini bahwa perhitungan itu adalah perhitungan potensi beban risiko fiskal dan bukan beban nyata yang ada saat ini. Hasil perhitungan ini harus diinterpretasi dengan hati-hati. Namun, kita harus melihat semua potensi persoalan yang ada dan berusaha mengatasinya.
Saya melihat bahwa isu kesinambungan fiskal tetap merupakan masalah penting yang harus dihadapi oleh siapa pun yang menjadi presiden terpilih pada bulan Oktober nanti.
Kesinambungan fiskal yang selama ini sudah berhasil dicapai harus terus dijaga dan pelbagai risiko yang bisa membahayakan fiskal harus dihindari. Pemilihan presiden boleh saja menyerap banyak energi, tetapi itu tak berarti kesinambungan fiskal dan masalah contingent liabilities boleh diabaikan. Negeri ini memang tak punya banyak kemewahan
untuk melupakan prioritas kebijakan ekonominya. Mudah-mudahan para calon presiden menyadari soal ini.
.