Ada Apa dengan Iklim Investasi Indonesia

Ada Apa dengan Iklim Investasi Indonesia 

Suara Karya, 16 Januari 2006


Setelah empat raksasa elektronik di antaranya Sanyo dikabarkan bakal mengalihkan pabriknya dari Indonesia, kini sektor pertambangan disebut-sebut berniat serupa, hengkang dari Indonesia. Pekan kemarin Inco dan Rio Tinto diberitakan akan pergi dari sini.

Ibaratnya Indonesia kini bukan lagi perawan yang kerap menjadi incaran para investor, tetapi nenek peyot yang tidak lagi menarik dari sisi investasi.

Ketika era Orde Baru, dua ciri khas daya tarik iklim investasi asing adalah upah buruh murah dan stabilitas politik. Keluhan investor asing boleh dibilang nyaris tak terdengar. Serupa dan sebangun, demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah kerja juga tak tidak pernah muncul karena tekanan politik ketika itu memang demikian kuat.

Namun kini, iklim politik di Indonesia telah berubah. Kelompok-kelompok pekerja malah secara eskalatif sering muncul menuntut kenaikan upah kerja. Begitu pula para pemilik uang (investor) tanpa takut kehilangan peluang bisnis di Indonesia secara terbuka mengkritisi kebijakan investasi pemerintah Indonesia bila dianggap tidak kondusif.

Fakta tersebut setidaknya membuat gerah dunia usaha di Indonesia. Bahkan ketika era Presiden Megawati, pengusaha menyebut Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea sebagai pekerja, bukan birokrat dengan jabatan menteri.

Kini upah buruh di Indonesia tidak lagi sebagai advantage bagi investor terutama aliran foreign direct investment (FDI). Akibatnya investor mulai banyak berkomentar dengan aneka argumentasi ketika hendak merelokasi pabriknya dari Indonesia.

Rio Tinto dan Inco bukan perusahaan kemarin sore. Begitu pula dengan rencana Sanyo. Puluhan tahun sudah perusahaan multi national company (MNC) tersebut membesarkan usahanya dengan hanya membayar upah murah yang murah di bandingkan dengan negara-negara dunia ketiga lainnya.

Sungguh sangat disayangkan jika karena persoalan tersebut, akhirnya membuat perusahaan-perusahaan MNC itu mulai pindah ke lain hati. Persoalan upah pekerja yang mulai berat tersebut juga dirasakan oleh perusahaan nasional. Sebut saja produsen mie instant, PT Indofood Sukses Makmur Tbk yang dikabarkan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 4.000 orang pekerjanya.

Hal yang sama juga terjadi di Bank Danamon. Bank yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh BUMN Singapura tersebut mem-PHK 400 orang karyawannya. Alasan perusahaan tersebut adalah cost produksi yang meningkat sehingga perusahaan harus menerapkan efisiensi. Satu di antara komponen biaya produksi perusahaan tersebut adalah upah kerja yang dituntut naik para pekerja. Tuntutan kenaikan tersebut akibat dampak berantai kebijakan pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar minyak per 1 Oktober 2005 lalu.

Memang tidak bisa begitu saja menyalahkan investor. Pasalnya sifat investasi adalah mencari keuntungan dan kepastian bisnis. Berdasarkan data yang ada, pemerintah seharusnya juga harus berkaca, apa yang menyebabkan aliran uang investor mulai mengalir ke kawasan lain.

Karena itu masuk akal jika pemerintah bisa menjaga stabilitas iklim investasi di bidang pertambangan dan perminyakan di dalam negeri. Bakal hengkangnya dua perusahaan tambang raksasa Rio Tinto dan Inco dari Indonesia dikhawatirkan merembet kepada investor lain.

Menurut pengamat perminyakan, TN Mahmud bakal hengkangnya perusahaan pertambangan tersebut dari Indonesia, merupakan kabar buruk. Harusnya pemerintah segera merespon, agar ini tidak merembet ke sektor lain, yang akan membahayakan investasi di dalam negeri.

"Kalau benar terjadi, maka ini kabar buruk. Rio Tinto dan Inco dua raksasa tambang. Itu memang terkait dengan iklim investasi yang kurang memadai," kata TN Mahmud.

Dia menilai saat ini iklim investasi pertambanagan makin kurang kondusif. Kalangan investor memerlukan kondisi yang kondusif dengan perlindungan hukum yang jelas. Pemicunya ialah regulasinya yang kurang jelas ditambah otonomi daerah yang memberi implikasi negatif terhadap investasi.

Persoalan lain yang mungkin juga harus diselesaikan ialah berlarut-larutnya persoalan pengelolaan blok Cepu oleh Exxon. Bukan tidak mungkin, kata TN Mahmud, ini akan berdampak negatif terhadap investasi di dalam negeri. "Ini juga berpengaruh langsung, terhadap iklim investasi perminyakan." jelasnya.

Exxon adalah salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia. Kalau dia saja sempat mengalami kemacetan dan tidak bisa jalan akan sangat berpengaruh kepada yang lain-lain.

"Walaupun sedikit berbeda pertambangan umum dengan perminyakan, tapi itu menunjukan iklim investasi yang tidak sehat," katanya.

Karena itu, ungkapnya, pemerintah harus memperbaikinya. Jika ditanya ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah pasti menyatakan akan memperbaiki. "Tapi di lapangan belum kelihatan atau belum dirasakan," kata dia.

Jika demikian wajar, bila pemerintah harus serius berunding dengan Exxon. Kesepakatan Pertamina-Exxon dalam mengeksploitasi blok Cepu memang masih panjang. Tetapi kedua pihak harus mengikat perjanjian sehingga prinsip-prinsip yang harus dimuat dalam suatu kontrak baru memiliki kekuatan hukum.

Mahmud menilai, seperti ada gangguan dalam penyelesaian permasalahan Exxon. "Menurut saya ada kepentingan perorangan, kepentingan golongan, kepentingan daerah, dan kepentingan partai. Biasalah orang mencari duit," kata dia.

Saat ini, kata dosen pascasarjana Universitas Bina Nusantara itu, Indonesia butuh produksi minyak tambahan, dengan menambah produksi dalam waktu sesingkat-singkatnya.

"Dengan adanya Exxon Mobil, itu ada jaminan mutu. Exxon memiliki uang, teknologi, disiplin kerja dan manajemennya berpengalaman," kata mahmud.

Agar investor tidak hengkang, menurut Mahmud, pemerintah harus mencari sebab musababnya. "Semua pihak duduk bersama. Bicara terbuka dan mencari jalan terbaik," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Priyo Pribadi Soemarno, mengatakan, kalau iklim investasi itu tidak dijaga dengan baik, maka Indonesia bakal kehilangan potensi devisa negara sekitar 4,4 hingga 7 miliar dolar AS.

Menurut catatan IMA, kini ada delapan proyek pertambangan yang sudah masuk tahap studi kelayakan, tetapi mandek di tengah jalan karena tidak adanya kepastian berinvestasi.

Proyek itu meliputi tambang batu bara Maruwai milik BHP di Kalimantan, Gas milik BHP di Papua, Weda Bay milik Weda Bay Nickel di Halmahera, Bahodopi milik Inco di Sulteng, Emas Martabe milik Newmont di Sumut, Tayan milik Aneka Tambang di Kalimantan, Sorikmas milik Sorikmas Mining di Sumut, dan Dairi milik Herald Res di Sumut.

sumber: