Ada apa dengan Freeport?
Ada apa dengan Freeport?
oleh : Diena Lestari
Diakui atau tidak, pernyataan spontan mantan Ketua MPR Amien Rais agar pemerintah melakukan revisi kontrak dari perusahaan tambang terbesar di Indonesia, PT Freeport Indonesia, tak ubahnya membangunkan harimau tidur. Tak tanggung-tanggung, pernyataan itu semakin dikerucutkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla yang secara mengejutkan membentuk tim gabungan antardepartemen agar transaksi emas milik PTFI diperiksa ulang. Pemeriksaan transaksi dianggap perlu untuk menentukan tambahan alokasi royalti bagian pemerintah. Dengan melakukan perhitungan kasar, orang nomor dua di negeri ini memba-yangkan jika harga emas internasional rata-rata US$600 per troy ounce, maka royalti yang diterima pemerintah naik dua hingga tiga kali lipat dari yang diterima sekarang. "Karena dengan harga emas yang mahal, mestinya bagi hasilnya naik. Ini untuk kepentingan rakyat Papua. Karena 70% bagi hasil itu jatuh ke rakyat Papua. Kami tidak ingin otonomi khusus itu bagi hasilnya kecil. Kita juga tidak ingin ada penyelewengan harga emas." Mungkin pernyataan nasionalis dari Amien dan Kalla ini tak dapat begitu saja dikatakan sebagai pemicu aksi blokade ruas jalan mile 72-74 di Tembagapura sampai perusakan kantor PT Freeport di Plaza 89 Kuningan Jakarta. Aksi yang mengakibatkan berhentinya kegiatan operasional Freeport itu, oleh Dirjen Mineral, Batubara dan Panas Bumi Departemen ESDM Simon Sembiring, diperkirakan berdampak terhadap dua hal. Pertama, negara menderita kerugian mencapai US$2,7 juta per hari dari perkiraan penerimaan negara per tahun yang mencapai total US$1 miliar. Kedua, turunnya saham FCX (Freeport McMoRan Copper & Gold Inc) di New York Stock Exchange (NYSE). Seperti dikutip Bloomberg, pada 6 Februari 2006, harga saham FCX di NYSE mencapai US$62,60 per lembar. Pada 7 Februari-sehari setelah Amien Rais mengusulkan renegosiasi kontrak di hadapan Panja Freeport DPR-saham FCX turun menjadi US$58,62 per lembar. Posisi itu terus menurun, yang hingga 10 Februari-ketika Wapres menyatakan akan dibentuk tim antardepartemen-saham FCX di NYSE hanya US$51,93 per lembar. Saham FCX memang sempat menguat menjadi US$55,04 pada 22 Februari, namun setelah terjadi aksi blokade saham kembali melemah menjadi US$51,63. Unsur politik Pada dasarnya pernyataan yang dilontarkan Amien Rais dan Jusuf Kalla tentang renegosiasi kontrak Freeport mengandung unsur politik yang sangat besar. Hal ini bisa berkaca pada upaya pemerintah Bolivia yang berhasil melakukan rene-gosasi kontrak dengan perusahaan multinasional. Dicermati lebih jauh lagi, pernyataan Wapres mengenai upaya pemerintah untuk mendapatkan tambahan royalti dari Freeport sedikit menuai pertanyaan lanjutan. Di Indonesia tercatat banyak perusahaan tambang mineral yang berkewajiban membayar royalti kepada pemerintah a.l. PT Inco, PT Newmont Pacific Nusantara. Tapi mengapa hanya Freeport yang menjadi pusat perhatian pemerintah untuk mendapatkan tambahan royalti dengan diwacanakan renegosiasi kontrak? Apa yang sampai membuat orang di lingkaran pertama merasa perlu memberikan pernyataan tentang harga emas per troy ounce di pasar internasional? Ada apa dengan Freeport? Kontrak memang bukan harga mati, tapi jangan lupa klausul pemecahan masalah dengan mekanisme arbitrase internasional tercantum dalam perjanjian. Renegosasi selalu terbuka dilakukan, tapi melalui proses panjang, apalagi jika salah satu pihak tidak menghendakinya. Menyusul \'geger\' sepekan ini, tiba-tiba banyak bermunculan wacana baru sebagai solusi penyelesaian masalah Freeport yang tak pernah menyentuh substansi. Wacana agar melakukan terminasi kontrak sampai masalah divestasi saham perusahaan itu. Melakukan terminasi kontrak sangat jauh panggang dari api. Proses itu tidak dapat dengan mudah dilakukan. Wacana renegoisasi adalah satu hal yang lebih memungkinkan dibandingkan dengan terminasi kontrak. Banyak proses yang dilakukan untuk menuju terminasi kontrak. Sekali lagi, gugatan melalui proses arbitrase internasional sangat terbuka dilakukan, dan prosesnya sangat melelahkan. Wacana yang berkembang akhir-akhir ini dan dianggap paling mungkin dilakukan untuk menyelesaikan masalah Freeport adalah melakukan divestasi saham perusahaan itu. Dalam Kontrak Karya Freeport pasal 24 tentang Promosi Kepentingan Nasional disebutkan paling lambat setelah ulang tahun ke-20 dari tanggal ditandatanganinya KK, divestasi perusahaan itu harus sudah mencapai 51% dari modal saham yang diterbitkan, atau mencapai 45% jika sekurang-kurangnya 20% dari modal saham yang diterbitkan dijual di Bursa Efek Jakarta. Kepemilikan saham PT Freeport Indonesia saat ini terdiri dari Pemerintah Indonesia (9,36%), PT Indocopper Investama (9,36%), dan FCX (81,28%). Memang, selama ini selalu muncul pro-kontra terkait divestasi Freeport. Apalagi ketika PP No.20/ 1994 pasal 2 (1) (b) menyebutkan pemilikan saham dalam perusahaan secara langsung, dalam arti seluruh modal dimiliki oleh warga negara dan atau badan hukum asing, selama ini dijadikan tempat berlindung untuk lepas dari kewajiban divestasi. Divestasi selain satu kewajiban, merupakan salah satu cara mengakomodasi kepentingan nasional. Jika pemerintah tak sanggup menaikkan persentase kepemilikan saham, dapat saja melimpahkan hal itu pada perusahaan nasional atau BUMD. Selama ini tercatat banyak perusahaan nasional yang memiliki saham di perusahaan tambang asing, a.l. PT Bumi Resources Tbk mempunyai saham mayoritas di PT Kaltim Prima Coal, dan Indika Group memiliki saham di PT Kideco Jaya Agung. Tak dapat dipungkiri memiliki saham Freeport menjadi hal menarik untuk dilakukan. Tuntutan masyarakat untuk renegosasi kontrak dianggap sebagian pihak sebagai \'sasaran antara\' agar perusahaan itu memilih mendivestasikan sahamnya. Divestasi memang perlu dilakukan, apalagi jika kemudian dilihat kepentingan pemerintah untuk mendapat tambahan pendapatan saat ini. Penyertaan daerah atau perusahaan dalam negeri menjadi satu hal mendesak. Tapi tak jarang masalah profesional business to business (B to B) yang dilakukan antarperusahaan seringkali menjadi keruh ketika dicampuradukkan dengan unsur politik. Ditunggangi Tuntutan masyarakat yang murni untuk mendapatkan hak, secara tak disangka dijadikan \'kendaraan\' bagi kelompok tertentu yang membawa agenda tersembunyi. LSM yang mengadvokasi masyarakat Papua sendiri menyadari bahwa aksi murni melakukan perubahan bagi masyarakat seringkali ditunggangi kepentingan tertentu. "Pemerintah tak mampu menjamin berjalannya divestasi dengan baik. Banyak perusahaan tambang sampai tutup tidak pernah melakukan divestasi," kata Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang Siti Maemunah. Dia menganggap gangguan yang seringkali dialami Freeport karena potensi mineral di perusahaan itu masih banyak. "Potensi gangguan amat tinggi, tak hanya datang dari komunitas [masyarakat], tapi juga politikus dan pengusaha." Kesadaran terhadap gangguan yang sering muncul ini ternyata disadari juga oleh masyarakat. Apapun cara yang diambil pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini, apakah dengan renegosiasi kontrak, atau mendivestasikan saham PT Freeport, seyogianya dilakukan sesuai dengan prinsip B to B yang berujung pada win-win solution. Lebih penting lagi, adanya kesadaran bahwa rakyat Papua kali ini benar-benar dapat menikmati haknya dengan lebih sepadan, dan tidak menjadikan mereka sebagai \'kendaraan\' untuk kepentingan beberapa pihak semata. |